Membaca apa yang tertulis dalam majalah Hidup tentang praktek Misa Cie Shua (Ci Suak) 祭煞 jisha, saya jadi kaget. Rupanya tradisi Tionghua begitu menarik banyak orang merasa ini sesuatu yang bisa dipraktekkan di mana-mana. Apalagi di dalam Gereja Katolik, yang mempunyai rasa toleran yang begitu besar dan berusaha untuk mengadakan inkulturasi terhadap budaya yang dihadapinya.
Sayangnya, kerap kali inkulturasi ini tidak disertai dengan pemahaman akan budaya yang tepat. Yang terjadi bukannya inkulturasi, melainkan sinkretisme. Maka apa yang dilakukan di 福安庙 Hok An Bio (kata klenteng tidak perlu disebut lagi karena 庙 miao4 atau bio sudah berarti klenteng) sudah masuk ke wilayah sinkretis. Karena bila diadakan Misa, ya cukup hanya dengan Misa. Beberapa tahun yang lalu Keuskupan Malang dengan tegas melarang adanya Misa Penyembuhan. Misa sendiri sudah menyembuhkan orang secara lahir dan rohani, tidak dengan penyembuhan model macam-macam. Apalagi dengan Misa + Jisha. Dua ritus dari dua agama yang berbeda disatukan. Tentu saja yang berhak menentukan ini boleh dijalankan atau tidak boleh adalah Uskup. Namun Uskup perlu mendapatkan masukan yang lebih tepat dari orang-orang yang mengerti praktek dan tradisi Tionghua dan penerapannya dalam liturgi.
Apalagi komentar Pastor Bruno Hendra Tjahja yang mengatakan bahwa "Misa Cie Shua ... bukan pemujaan sesat dan juga bukan ibadat agama Buddha." Perlu saya ditambahkan bahwa itu juga bukan ibadat Gereja Katolik! Jadi? Dalam Misa imlek di Tidar saya tekankan bahwa dengan mengikuti Misa saja sudah cukup! Dengan menyambut komuni suci, yakni Tubuh dan Darah Kristus, kita sudah mendapatkan jaminan keselamatan dari Allah. "Barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku" (Yoh 6:57). Atau lebih jelas lagi dalam Yoh 6:51 Yesus mengatakan: "Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia." Dengan demikian, mengikuti Misa saja sudah merupakan hal yang luar biasa. Sementara itu dengan jisha, apa yang mau dibuat? Melepaskan orang dari pengaruh jahat? Apakah tubuh dan darah Kristus yang kita terima masih kurang? Karena itu, kalau masih dalam rangka perayaan imlek, seorang imam hendaklah menekankan pentingnya Misa itu sendiri sebagai bekal hidup kita di dunia. Kristus sudah datang ke dunia untuk menyelamatkan kita, mengapa kita masih takut dan melakukan pelbagai macam ritual yang tidak kristiani?
Dari dalam diri seorang pewarta, terutama imam yang sudah diurapi sewaktu ditahbiskan, haruslah mengajak umat untuk memfokuskan pandangannya kepada Kristus. Bahaya apa pun selalu mengancam, terutama bagi kita yang mau setia kepada Kristus. Tetapi tidak berarti kita harus kompromi dengan ritus-ritus yang tidak sesuai dengan iman kita.
Sekali lagi, dalam berinkulturasi, berhati-hatilah terhadap bahaya sinkretisme!
Congregatio Discipulorum Domini
Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).
14 March 2007
Misa Cie Shua ??? (2)
Dari Majalah Hidup No 10 Tahun ke-61, 11 Maret 2007, halaman 16:
BUKAN PEMUJAAN SESAT
Pastor Bruno Herman Tjahja SJ mengatakan, umat Tionghoa tidak dilarang menyelenggarakan dan mengikuti Misa Cie Shua. "Sebetulnya tradisi di klenteng hanya budaya, bukan agama," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, Misa Cie Shua yang diadakan di Kecamatan Gubug, Jawa Tengah bukanlah pemujaan sesat dan juga bukan ibadat agama Buddha. Misa tersebut jelas-jelas berada dalam aturan Gereja Katolik. Misa itu tidak ada bedanya dengan Misa pada umumnya, hanya nuansanya beradat Cina.
Berkaitan dengan penggunaan hio pada Misa itu, ia menuturkan, "Katolik juga menggunakan dupa. Itu kan hanya cara menyembah Tuhan. Jadi, tidak masalah asal yang dituju Tuhan Yesus." Ia menambahkan, dengan adanya kapel di Gubug, umat Katolik di tempat itu memperoleh tempat untuk beribadat.
Maretta P. S.
BUKAN PEMUJAAN SESAT
Pastor Bruno Herman Tjahja SJ mengatakan, umat Tionghoa tidak dilarang menyelenggarakan dan mengikuti Misa Cie Shua. "Sebetulnya tradisi di klenteng hanya budaya, bukan agama," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, Misa Cie Shua yang diadakan di Kecamatan Gubug, Jawa Tengah bukanlah pemujaan sesat dan juga bukan ibadat agama Buddha. Misa tersebut jelas-jelas berada dalam aturan Gereja Katolik. Misa itu tidak ada bedanya dengan Misa pada umumnya, hanya nuansanya beradat Cina.
Berkaitan dengan penggunaan hio pada Misa itu, ia menuturkan, "Katolik juga menggunakan dupa. Itu kan hanya cara menyembah Tuhan. Jadi, tidak masalah asal yang dituju Tuhan Yesus." Ia menambahkan, dengan adanya kapel di Gubug, umat Katolik di tempat itu memperoleh tempat untuk beribadat.
Maretta P. S.
Misa Cie Shua ??? (1)
Dari Majalah Hidup No 10 Tahun ke-61, 11 Maret 2007, halaman 15:
MISA CIE SHUA DI KAPEL HOK AN BIO
Tujuh hari setelah Tahun Baru Cina, Imlek 2558, masyarakat Tionghoa merayakan Cie Shua. Yang beragama Konghucu dan Buddha beribadat di klenteng. Mereka memohon agar di tahun mendatang, mereka mendapatkan berkat dan keselamatan. Mereka mengadakan ruwatan. Sedangkan yang beraga Katolik mengadakan Misa Cie Shua.
Misa tersebut diadakan di Kapel Hok An Bio, Kecamatan Gubug, Kabutpaten Grobogan, Jawa Tengah, Minggu, 25/2. Misa dipimpin Pastor Pembantu Paroki Santo Petrus dan Paulus, Mangga Besar , Jakartya Barat, Bruno Herman Tjahja SJ. Untuk kedua kalinya ia memimpin Misa Cie Shua di kapel yang sama, yang letaknya berdampingan dengan klenteng.
Sebagian warga Tionghoa yang menjadi Katolik masih meneruskan tradisi tersebut. Pada perayaan Cie Shua, mereka tetap bertandang ke klenteng. "Untuk itulah kami mengdakan Misa Cie Shua. Supaya mereka tidak lagi mendua, Katolik atau Konghuchu," ucap Robert Azwan, salah seorang penggagas Misa Cie Shua. Dengan demikian, saat Cie Shua masyarakat Tionghoa Katolik tetap beribadat sesuai keyakinannya, yaitu memohon berkat dan keselamatan pada Tuhan Yesus Kristus.
Kental adat
Perayaan Ekaristi tersebut tampak sederhana. Meski demikian adat Cina terasa kental. AWarna merah lambang suka cita terlihat bertebaran di kapel berukuran 8x2,5 meter. Meja altar yang dipakai juga sederhana. Hanya berukuran 1,5x1 meter ditutup kain merah. Di kanan dan kiri altar terdapat batang dan daun tebu.
Di kaki altar diletakkan aneka persembahan, antara lain bakpau bertuliskan fuk yang berarti keberuntungan atau hoki, buah delima, jeruk, pear, anggur, srikaya dan hio. Semuanya itu memiliki arti tertentu.
Menurut Adhi N. Winata, salah seorang penggagas Misa Cie Shua, tujuan mempersembahkan buah srikaya agar di tahun mendatang umat Tionghoa memperoleh damai sejahtera dan kekayaan. Makna buah delima, yakni agar mereka memperoleh berlian. Tebu dikamnai agar mereka memperoleh kehidupan berkeluarga yang manis.
Pada Misa itu, Pastor Herman mengenakan pakaian Cina, mirip pakaian hakim Cina. Namun, pakaian tersebut dirancang dalam napas Katolik. "Jadi, kami menggunakan simbol Katolik," jelas Adhi. Misalnya, di sebelah kanan dan kiri topi atau mahkota yang melingkar di kepala terdapat telinga panjang. Artinya, pastor secara bijaksanan mendengarkan keinginan umat.
Di awal Misa, Pastor Herman memerciki air yang sudah diberkati ke umat. Dlaam khotbahnya, ia menyarankan agar di tahun yang baru, umat Tionghoa selalu berdoa dan berharap pada Yesus. "Kalau kita mau mencari kesejahteraan hidup bukan berarti kita santai-santai saja, tetapi kita harus bekerja keras," Sarannya. Ia juga meminta umat percaya kepada Yesus.
Beberapa tradisi Cina juga dilakukan dalam Misa itu. Sebelum Anak Domba Allah, Pastor Herman memberikan penghormatan keapda Tubuh Kristus dengan adat Cina, yaitu pay kwie atau membungkuk sebanyak tiga kali. Saat membungkuk untuk memberi penghormatan kepada Tubuh Kristus, ia memegang sebuah hio yang sudah dinyalakan. Setelah itu, umat mengikutinya. Mereka menirukan pastor dalam memberikan penghormatan secara pay kwie sambil memegang hio yang sudah dinyalakan.
Usai Misa mereka mengadakan doa pertobatan dan penyembahan yang dipandu salah seorang umat. Tepat pukul 24.00 WIB, umat Tionghoa Katolik melakukan King Ti Khong, yaitu penyembahan pada Tuhan. Untuk itu, di meja altar terdapat Tubuh Kristus.
Kapel dan klenteng
Kapel Hok An Bio tidak hadir begitu saja di Klenteng Hok An Bio. Tahun 2002, tepatnya saat perayaan Nabi Hok Tik Tjing Sien (Dewa Bumi), salah seorang umat Buddha yang menghadiri perayaan di klenteng itu mengusulkan agar patung Kongco dan Makco ditakhtakan. Yang dimaksud Kongco adalah Yesus Kristus, sementara Makco adalah Bunda Maria.
Waktu itu umat Buddha dan para pengurus Yayasan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Amurva Bumi Klenteng Hok An Bio Gubug ragu-ragu dengan usulan tersebut. Akhirnya, umat Buddha Gubug, pengurus yayasan, dan umat Buddha di luar daerah Gubug yang menghadiri perayaan tersebut sepakat meminta izin keapda Hok Tik Tjing Sien selaku nabi tuan rumah Vihara Hok An Bio.
"Jadi, kami tidak sembarangan mendirikan kapel ini," tutur Ketua Yayasan TITD Amurva Bhumi Klenteng Hok An Bio Gubug, Agus Wijanarko.
Ternyata Hok Tik Tjing Sien mengizinkan mereka menakhtakan patung Bunda Maria dan Yesus Kristus di klenteng itu. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di sebuah ruangan berukuran panjang 8 meter dan lebar 2,5 meter. "Awalnya, tempat itu gudang. Kami juga belum berpikiran menjadikan ruangan itu sebagai ruang doa atau kapel. Tujuan kami hanya meletakkan patung tersebut," tuturnya. Tahun berikutnya, 2006, tepat pada Misa Cie Shua, kapel itu diberkati Pastor Herman.
Kehadiran kapel tersebut pernah mengundang pro kontra. "Awalnya, ada umat Buddha dari luar Kota Gubug yang tidak suka dengan pendirian kapel. Mereka menilai pendirian kapel di samping klenteng merupakan pelecehan. Untunglah, sekarang masalahnya sudah selesai," tegas Agus. Padahal, kata Agus, pendirian kapel semata-mata hanya untuk saling menghormati antar pemeluk agama.
Pihak Keuskupan Agung Semarang rupanya mengetahui keberadaan kapel tersebut. Menurut Agus, Uskup Agung Semarang Mgr. Ignatius Suharyo Pr tidak pernah melarang pendirian kapel tersebut. "Kapel biasanya juga digunakan umat Gubug untuk sembahyangan wilayah."
Kerukunan antaragama
Rencananya, pihak Yayasan Klenteng Hok An Bio akan memperluas lahan guna pendirian mushola. "Rencananya, sebelah rumah akan kami beli untuk mushola. Masyarakat Muslim di sekitar sini bisa menggunakannya. Jadi, kami bersama-sama bisa menjalankan ibadat menurut keyakinan masing-masing," ungkap Agus.
Toleransi antarumat beragama Gubug memang terbina baik. Salah satu buktinya, ketika umat Buddha di tempat itu mengadakan perayaan keagamaan, umat Katolik dan Muslim hurut hadir. "Kalau ada acara di Klenteng, pendeta, suster, dan haji datang," jelas Agus.
Bukti lainnya, Agus sebagai pemeluk Katolik ditunjuk sebagai Ketua Yayasan Klenteng Hok An Bio. Ia dipilih umat Buddha dan ketua yayasan sebelumnya. Namun, ia juga dipilih melalui Pwa Pwee.
Maretta P. S.
MISA CIE SHUA DI KAPEL HOK AN BIO
Tujuh hari setelah Tahun Baru Cina, Imlek 2558, masyarakat Tionghoa merayakan Cie Shua. Yang beragama Konghucu dan Buddha beribadat di klenteng. Mereka memohon agar di tahun mendatang, mereka mendapatkan berkat dan keselamatan. Mereka mengadakan ruwatan. Sedangkan yang beraga Katolik mengadakan Misa Cie Shua.
Misa tersebut diadakan di Kapel Hok An Bio, Kecamatan Gubug, Kabutpaten Grobogan, Jawa Tengah, Minggu, 25/2. Misa dipimpin Pastor Pembantu Paroki Santo Petrus dan Paulus, Mangga Besar , Jakartya Barat, Bruno Herman Tjahja SJ. Untuk kedua kalinya ia memimpin Misa Cie Shua di kapel yang sama, yang letaknya berdampingan dengan klenteng.
Sebagian warga Tionghoa yang menjadi Katolik masih meneruskan tradisi tersebut. Pada perayaan Cie Shua, mereka tetap bertandang ke klenteng. "Untuk itulah kami mengdakan Misa Cie Shua. Supaya mereka tidak lagi mendua, Katolik atau Konghuchu," ucap Robert Azwan, salah seorang penggagas Misa Cie Shua. Dengan demikian, saat Cie Shua masyarakat Tionghoa Katolik tetap beribadat sesuai keyakinannya, yaitu memohon berkat dan keselamatan pada Tuhan Yesus Kristus.
Kental adat
Perayaan Ekaristi tersebut tampak sederhana. Meski demikian adat Cina terasa kental. AWarna merah lambang suka cita terlihat bertebaran di kapel berukuran 8x2,5 meter. Meja altar yang dipakai juga sederhana. Hanya berukuran 1,5x1 meter ditutup kain merah. Di kanan dan kiri altar terdapat batang dan daun tebu.
Di kaki altar diletakkan aneka persembahan, antara lain bakpau bertuliskan fuk yang berarti keberuntungan atau hoki, buah delima, jeruk, pear, anggur, srikaya dan hio. Semuanya itu memiliki arti tertentu.
Menurut Adhi N. Winata, salah seorang penggagas Misa Cie Shua, tujuan mempersembahkan buah srikaya agar di tahun mendatang umat Tionghoa memperoleh damai sejahtera dan kekayaan. Makna buah delima, yakni agar mereka memperoleh berlian. Tebu dikamnai agar mereka memperoleh kehidupan berkeluarga yang manis.
Pada Misa itu, Pastor Herman mengenakan pakaian Cina, mirip pakaian hakim Cina. Namun, pakaian tersebut dirancang dalam napas Katolik. "Jadi, kami menggunakan simbol Katolik," jelas Adhi. Misalnya, di sebelah kanan dan kiri topi atau mahkota yang melingkar di kepala terdapat telinga panjang. Artinya, pastor secara bijaksanan mendengarkan keinginan umat.
Di awal Misa, Pastor Herman memerciki air yang sudah diberkati ke umat. Dlaam khotbahnya, ia menyarankan agar di tahun yang baru, umat Tionghoa selalu berdoa dan berharap pada Yesus. "Kalau kita mau mencari kesejahteraan hidup bukan berarti kita santai-santai saja, tetapi kita harus bekerja keras," Sarannya. Ia juga meminta umat percaya kepada Yesus.
Beberapa tradisi Cina juga dilakukan dalam Misa itu. Sebelum Anak Domba Allah, Pastor Herman memberikan penghormatan keapda Tubuh Kristus dengan adat Cina, yaitu pay kwie atau membungkuk sebanyak tiga kali. Saat membungkuk untuk memberi penghormatan kepada Tubuh Kristus, ia memegang sebuah hio yang sudah dinyalakan. Setelah itu, umat mengikutinya. Mereka menirukan pastor dalam memberikan penghormatan secara pay kwie sambil memegang hio yang sudah dinyalakan.
Usai Misa mereka mengadakan doa pertobatan dan penyembahan yang dipandu salah seorang umat. Tepat pukul 24.00 WIB, umat Tionghoa Katolik melakukan King Ti Khong, yaitu penyembahan pada Tuhan. Untuk itu, di meja altar terdapat Tubuh Kristus.
Kapel dan klenteng
Kapel Hok An Bio tidak hadir begitu saja di Klenteng Hok An Bio. Tahun 2002, tepatnya saat perayaan Nabi Hok Tik Tjing Sien (Dewa Bumi), salah seorang umat Buddha yang menghadiri perayaan di klenteng itu mengusulkan agar patung Kongco dan Makco ditakhtakan. Yang dimaksud Kongco adalah Yesus Kristus, sementara Makco adalah Bunda Maria.
Waktu itu umat Buddha dan para pengurus Yayasan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Amurva Bumi Klenteng Hok An Bio Gubug ragu-ragu dengan usulan tersebut. Akhirnya, umat Buddha Gubug, pengurus yayasan, dan umat Buddha di luar daerah Gubug yang menghadiri perayaan tersebut sepakat meminta izin keapda Hok Tik Tjing Sien selaku nabi tuan rumah Vihara Hok An Bio.
"Jadi, kami tidak sembarangan mendirikan kapel ini," tutur Ketua Yayasan TITD Amurva Bhumi Klenteng Hok An Bio Gubug, Agus Wijanarko.
Ternyata Hok Tik Tjing Sien mengizinkan mereka menakhtakan patung Bunda Maria dan Yesus Kristus di klenteng itu. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di sebuah ruangan berukuran panjang 8 meter dan lebar 2,5 meter. "Awalnya, tempat itu gudang. Kami juga belum berpikiran menjadikan ruangan itu sebagai ruang doa atau kapel. Tujuan kami hanya meletakkan patung tersebut," tuturnya. Tahun berikutnya, 2006, tepat pada Misa Cie Shua, kapel itu diberkati Pastor Herman.
Kehadiran kapel tersebut pernah mengundang pro kontra. "Awalnya, ada umat Buddha dari luar Kota Gubug yang tidak suka dengan pendirian kapel. Mereka menilai pendirian kapel di samping klenteng merupakan pelecehan. Untunglah, sekarang masalahnya sudah selesai," tegas Agus. Padahal, kata Agus, pendirian kapel semata-mata hanya untuk saling menghormati antar pemeluk agama.
Pihak Keuskupan Agung Semarang rupanya mengetahui keberadaan kapel tersebut. Menurut Agus, Uskup Agung Semarang Mgr. Ignatius Suharyo Pr tidak pernah melarang pendirian kapel tersebut. "Kapel biasanya juga digunakan umat Gubug untuk sembahyangan wilayah."
Kerukunan antaragama
Rencananya, pihak Yayasan Klenteng Hok An Bio akan memperluas lahan guna pendirian mushola. "Rencananya, sebelah rumah akan kami beli untuk mushola. Masyarakat Muslim di sekitar sini bisa menggunakannya. Jadi, kami bersama-sama bisa menjalankan ibadat menurut keyakinan masing-masing," ungkap Agus.
Toleransi antarumat beragama Gubug memang terbina baik. Salah satu buktinya, ketika umat Buddha di tempat itu mengadakan perayaan keagamaan, umat Katolik dan Muslim hurut hadir. "Kalau ada acara di Klenteng, pendeta, suster, dan haji datang," jelas Agus.
Bukti lainnya, Agus sebagai pemeluk Katolik ditunjuk sebagai Ketua Yayasan Klenteng Hok An Bio. Ia dipilih umat Buddha dan ketua yayasan sebelumnya. Namun, ia juga dipilih melalui Pwa Pwee.
Maretta P. S.
11 March 2007
Minggu Prapaskah 3 Tahun C
Kel 3:1-8a.13-15; Mzm 103:1-2.3-4.6-7.8.11; 1Kor 10:1-6.10-12; Luk 13:1-9
TANGGALKANLAH KASUTMU, SEBAB TANAH INI KUDUS!
Bacaan hari ini memberikan suatu inspirasi baru. Musa mendapatkan penampakan semak yang terbakar tetapi tidak hangus. Lalu dari semak itu Tuhan Allah mengutus dia untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan bangsa Mesir. Kerap kali justru dalam renungan kita terfokus pada nama Allah yang menyebut dirinya "Aku adalah Sang Aku", atau terfokus pada tugas perutusan Musa.
Kali ini baiklah kita melihat pada perintah Allah sendiri kepada Musa sewaktu dia mendekati semak yang terbakar itu. Sewaktu Musa mengendap-endap mendekati semak terbakar itu untuk memeriksanya, Tuhan Allah berseru mengagetkan Musa: "Jangan mendekat! Tanggalkanlah kasut dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah kudus." Kasut harus ditanggalkan karena tanah yang diinjak ini kudus! Perintah ini begitu jelas dan gamblang. Untuk bertemu dengan Tuhan orang harus menanggalkan kasutnya.
Kasut adalah alas kaki. Fungsinya jelas sangat penting, apalagi bagi orang jaman sekarang. Bila kita lihat, setiap hari orang berkasut untuk melindungi kaki dari pelbagai ancaman. Meskipun kelihatannya sepele, kasut merupakan alat pelindung yang penting. Dan boleh dikatakan, dialah satu-satunya alat yang membantu manusia untuk berjalan dan menjalankan aktivitas sehari-hari. Kaki tanpa kasut akan mengalami kesulitan di jalan yang tidak rata dan penuh kerikil. Apalagi di jalan gunung yang penuh debu dan kerikil, kasut menjadi sangat penting. Namun barang yang penting itulah yang diminta Tuhan untuk ditanggalkan. Tanggalkanlah kasut dari kakimu, tanggalkanlah hal yang kauanggap paling penting dalam hidupmu! Janganlah mengandalkan itu lagi. Sebab pada saat ini tanah tempat engkau berdiri adalah kudus.
Alangkah istimewanya situasi saat berjumpa dengan Allah. Namun dalam perjumpaan dengan Allah kita membawa serta segala yang kita anggap penting dalam hidup ini. Kita merasa itulah jaminan dan pegangan kita. Demikian juga dalam hidup membiara. Betapa sering kita lihat bahwa kehidupan seorang biarawan/wati yang pada mulanya kosong, tidak membawa apa-apa, semakin lama dalam hidup membiara semakin membawa banyak harta benda. Hal ini menjadi sangat nyata sewaktu orang tersebut dipindahtugaskan ke kota lain. Kerap kali kita memberi alasan bahwa milik yang kita pakai itu adalah alasan dalam berkarya, fasilitas yang membantu kita. Alasan ini bisa saja benar. Meskipun demikian, setiap saat kita diingatkan untuk menanggalkan kasut. Mengapa? Karena tanah yang kita injak itu kudus. Jalan yang kita tapaki itu suci, dan membawa kita semakin dekat dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Allah, itu lebih penting dari segala fasilitas yang ada di sekitar kita.
Bila hanya Allah yang kita andalkan (saya teringat akan devosi Kerahiman Ilahi yang mempunyai semboyan: YESUS, ENGKAULAH ANDALANKU!), maka dengan sendirinya kita akan menghasilkan buah. Tidak seperti pohon ara yang didatangi Yesus, yang tidak menghasilkan buah sedikitpun sehingga mengecewakan Tuhan. Meskipun sudah diusahakan, dirawat, dan sebagainya, pohon itu tetap diharapkan supaya berbuah. Sama halnya dengan orang Israel dalam bacaan ke 2, umat Israel dan orang Kristiani yang meskipun makan makanan rohani yang sama dan minum minuman rohani yang sama (di padang gurun makan manna dan minum dari batu karang, dan orang Kristiani dari Tubuh dan Darah Kristus) karena tidak menghasilkan buah, akan ditolak oleh Allah, dan akan binasa dengan cara yang mengerikan.
Maka melepaskan kasut seperti Musa mempunyai makna bagi kita untuk melepaskan diri dari segala hal yang membuat kita merasa nyaman dan aman. Tinggalkanlah semua yang kiranya menjadi keinginan diri, terutama dari sikap mau memiliki fasilitas dan barang duniawi, dan sebaliknya memeluk dan menginginkan hanya Tuhan sendiri. Maka tanah yang kita injak, jalan yang kita tekuni ini akan menjadi kudus dan membawa kita kepada hati yang berkobar-kobar menuju kepada Allah.
TANGGALKANLAH KASUTMU, SEBAB TANAH INI KUDUS!
Bacaan hari ini memberikan suatu inspirasi baru. Musa mendapatkan penampakan semak yang terbakar tetapi tidak hangus. Lalu dari semak itu Tuhan Allah mengutus dia untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan bangsa Mesir. Kerap kali justru dalam renungan kita terfokus pada nama Allah yang menyebut dirinya "Aku adalah Sang Aku", atau terfokus pada tugas perutusan Musa.
Kali ini baiklah kita melihat pada perintah Allah sendiri kepada Musa sewaktu dia mendekati semak yang terbakar itu. Sewaktu Musa mengendap-endap mendekati semak terbakar itu untuk memeriksanya, Tuhan Allah berseru mengagetkan Musa: "Jangan mendekat! Tanggalkanlah kasut dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah kudus." Kasut harus ditanggalkan karena tanah yang diinjak ini kudus! Perintah ini begitu jelas dan gamblang. Untuk bertemu dengan Tuhan orang harus menanggalkan kasutnya.
Kasut adalah alas kaki. Fungsinya jelas sangat penting, apalagi bagi orang jaman sekarang. Bila kita lihat, setiap hari orang berkasut untuk melindungi kaki dari pelbagai ancaman. Meskipun kelihatannya sepele, kasut merupakan alat pelindung yang penting. Dan boleh dikatakan, dialah satu-satunya alat yang membantu manusia untuk berjalan dan menjalankan aktivitas sehari-hari. Kaki tanpa kasut akan mengalami kesulitan di jalan yang tidak rata dan penuh kerikil. Apalagi di jalan gunung yang penuh debu dan kerikil, kasut menjadi sangat penting. Namun barang yang penting itulah yang diminta Tuhan untuk ditanggalkan. Tanggalkanlah kasut dari kakimu, tanggalkanlah hal yang kauanggap paling penting dalam hidupmu! Janganlah mengandalkan itu lagi. Sebab pada saat ini tanah tempat engkau berdiri adalah kudus.
Alangkah istimewanya situasi saat berjumpa dengan Allah. Namun dalam perjumpaan dengan Allah kita membawa serta segala yang kita anggap penting dalam hidup ini. Kita merasa itulah jaminan dan pegangan kita. Demikian juga dalam hidup membiara. Betapa sering kita lihat bahwa kehidupan seorang biarawan/wati yang pada mulanya kosong, tidak membawa apa-apa, semakin lama dalam hidup membiara semakin membawa banyak harta benda. Hal ini menjadi sangat nyata sewaktu orang tersebut dipindahtugaskan ke kota lain. Kerap kali kita memberi alasan bahwa milik yang kita pakai itu adalah alasan dalam berkarya, fasilitas yang membantu kita. Alasan ini bisa saja benar. Meskipun demikian, setiap saat kita diingatkan untuk menanggalkan kasut. Mengapa? Karena tanah yang kita injak itu kudus. Jalan yang kita tapaki itu suci, dan membawa kita semakin dekat dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Allah, itu lebih penting dari segala fasilitas yang ada di sekitar kita.
Bila hanya Allah yang kita andalkan (saya teringat akan devosi Kerahiman Ilahi yang mempunyai semboyan: YESUS, ENGKAULAH ANDALANKU!), maka dengan sendirinya kita akan menghasilkan buah. Tidak seperti pohon ara yang didatangi Yesus, yang tidak menghasilkan buah sedikitpun sehingga mengecewakan Tuhan. Meskipun sudah diusahakan, dirawat, dan sebagainya, pohon itu tetap diharapkan supaya berbuah. Sama halnya dengan orang Israel dalam bacaan ke 2, umat Israel dan orang Kristiani yang meskipun makan makanan rohani yang sama dan minum minuman rohani yang sama (di padang gurun makan manna dan minum dari batu karang, dan orang Kristiani dari Tubuh dan Darah Kristus) karena tidak menghasilkan buah, akan ditolak oleh Allah, dan akan binasa dengan cara yang mengerikan.
Maka melepaskan kasut seperti Musa mempunyai makna bagi kita untuk melepaskan diri dari segala hal yang membuat kita merasa nyaman dan aman. Tinggalkanlah semua yang kiranya menjadi keinginan diri, terutama dari sikap mau memiliki fasilitas dan barang duniawi, dan sebaliknya memeluk dan menginginkan hanya Tuhan sendiri. Maka tanah yang kita injak, jalan yang kita tekuni ini akan menjadi kudus dan membawa kita kepada hati yang berkobar-kobar menuju kepada Allah.
07 March 2007
Kecelakaan Pesawat
Pagi ini ada berita duka: kecelakaan pesawat lagi. Kali ini Garuda yang mengalami kecelakaan, jatuh di sawah dekat bandara Yogyakarta sewaktu mau mendarat karena angin. Dirut Garuda mengatakan yang pasti 21 orang meninggal. Wah, Indonesia sejak awal tahun dilanda pelbagai bencana. 1 Januari bencana kecelakaan Adam Air yang tidak ditemukan sampai sekarang, tenggelamnya kapal Levina I, lumpur Lapindo yang tak dapat ditangani, angin puting beliung di Yogya, banjir di Jakarta, longsor di Flores, dan terakhir gempa 5,8 Richter di Sumatera Barat.
Sewaktu di Sutomo pagi ini, tiba-tiba saya bertanya-tanya, apa yang bisa kita perbuat. Kerap kali berita bencana ini dan itu datang bertubi-tubi, kita mendengarnya dan ... ya cuma itu. Berita tinggal berita, dan kita hidup seperti biasanya sehari-hari. Apalagi kita merasa tidak ada hubungannya dengan bencana tersebut, entah karena jarak terjadinya yang jauh, atau juga karena tidak ada anggota keluarga yang menjadi korban. Saya berpikir alangkah baiknya kalau kita juga berusaha berbuat sesuatu. Maka tadi saya mengusulkan kepada kepala sekolah bagaimana kita sebagai seorang kristiani harus menyikapi hal-hal seperti ini.
Muncullah ide ini. Murid-murid Kolese St. Yusup mayoritas adalah chinese born. Maka mereka juga perlu diajari agar mempunyai empati terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, agar mereka tidak hidup di dunianya sendiri. Maka apakah ada kemungkinan kepala sekolah mencoba mengumpulkan seluruh siswa dan guru untuk mengadakan gerakan doa bersama untuk bangsa dan negara. Gerakan ini hendaknya diadakan secara rutin, entah seminggu sekali, entah sebulan sekali, dan bersifat ekumenis. Saya teringat akan Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II yang mengumpulkan para pemimpin agama seluruh dunia untuk berdoa di Asisi. Untuk pihak sekolah, hendaknya tidak membuat suatu acara yang bertele-tele. Cukuplah misalnya, seperti Sutomo yang pulang lebih awal setiap Rabu, Jumat dan Sabtu, dengan memilih salah satu hari itu. Katakanlah gerakan doa bersama ini diadakan seminggu sekali. Maka pada hari Rabu para murid dan guru berkumpul bersama di aula sesudah pulang, lalu diadakan puji-pujian, kemudian doa secara katolik, disertai dengan bacaan dari Kitab Suci (tidak usah ayat yang panjang-panjang), hening sejenak, dan kemudian ditutup dengan doa secara Katolik (teks doa sudah disusun). Setelah itu dilanjutkan dengan doa dari masing-masing agama siswa.
Apakah ide ini dapat terlaksana? Semua tergantu kepada pimpinannya, entah itu kepala sekolah, terutama tentu saja para imam CDD yang bekerja di Yayasan. Kita harus mempunyai kepekaan dan belajar untuk mengembangkan empati kepada mereka yang menderita kemalangan. Semoga ide ini mendapat tanggapan yang positif.
Sewaktu di Sutomo pagi ini, tiba-tiba saya bertanya-tanya, apa yang bisa kita perbuat. Kerap kali berita bencana ini dan itu datang bertubi-tubi, kita mendengarnya dan ... ya cuma itu. Berita tinggal berita, dan kita hidup seperti biasanya sehari-hari. Apalagi kita merasa tidak ada hubungannya dengan bencana tersebut, entah karena jarak terjadinya yang jauh, atau juga karena tidak ada anggota keluarga yang menjadi korban. Saya berpikir alangkah baiknya kalau kita juga berusaha berbuat sesuatu. Maka tadi saya mengusulkan kepada kepala sekolah bagaimana kita sebagai seorang kristiani harus menyikapi hal-hal seperti ini.
Muncullah ide ini. Murid-murid Kolese St. Yusup mayoritas adalah chinese born. Maka mereka juga perlu diajari agar mempunyai empati terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, agar mereka tidak hidup di dunianya sendiri. Maka apakah ada kemungkinan kepala sekolah mencoba mengumpulkan seluruh siswa dan guru untuk mengadakan gerakan doa bersama untuk bangsa dan negara. Gerakan ini hendaknya diadakan secara rutin, entah seminggu sekali, entah sebulan sekali, dan bersifat ekumenis. Saya teringat akan Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II yang mengumpulkan para pemimpin agama seluruh dunia untuk berdoa di Asisi. Untuk pihak sekolah, hendaknya tidak membuat suatu acara yang bertele-tele. Cukuplah misalnya, seperti Sutomo yang pulang lebih awal setiap Rabu, Jumat dan Sabtu, dengan memilih salah satu hari itu. Katakanlah gerakan doa bersama ini diadakan seminggu sekali. Maka pada hari Rabu para murid dan guru berkumpul bersama di aula sesudah pulang, lalu diadakan puji-pujian, kemudian doa secara katolik, disertai dengan bacaan dari Kitab Suci (tidak usah ayat yang panjang-panjang), hening sejenak, dan kemudian ditutup dengan doa secara Katolik (teks doa sudah disusun). Setelah itu dilanjutkan dengan doa dari masing-masing agama siswa.
Apakah ide ini dapat terlaksana? Semua tergantu kepada pimpinannya, entah itu kepala sekolah, terutama tentu saja para imam CDD yang bekerja di Yayasan. Kita harus mempunyai kepekaan dan belajar untuk mengembangkan empati kepada mereka yang menderita kemalangan. Semoga ide ini mendapat tanggapan yang positif.
Pengalaman di Malaysia
Sewaktu kembali ke Indonesia setelah pemeriksaan kesehatan, Br. Giyanto mengatakan dokter-dokter yang memeriksa tidak menemukan penyakit apa pun. Ada dua orang dokter yang menangani kakinya yang bengkak. Yang satu adalah dr. Law ahli ortopedi, dan satu lagi dr. Vijay ahli vernaculer (pembuluh darah). Penyakitnya dapat dianggap seperti "varises", yakni pembengkakan pembuluh darah. Tidak ada obat yang harus di minum. Cuma satu saja perbedaannya sewaktu dia kembali: pakai kaus kaki. Ini adalah kaus kaki khusus, yang membantu agar pembuluh darahnya tidak membengkak lebih besar.
Setelah kami amati, memang kakinya tidak lagi sebesar sebelumnya, sudah agak mengempis. Tetapi akan berapa lama? Tergantung kesetiaanya memakai kaus kaki. Sebab kata dokter, kalaupun dioperasi, maka setelah satu dua tahun akan kembali bengkak seperti itu.
Sementara menunggu hasil pemeriksaan, Br. Giyanto melewati hari Imlek di Paroki St. Ignatius (St. Ignatius Church) di Petaling Jaya. Apa kesannya? Misa imlek di sana biasa-biasa saja. Barangkali seperti Misa Tahun Baru 1 Januari. Malahan Misa Imlek di Indonesia dirayakan luar biasa meriah. Hmmm. Menarik juga ya. Lalu selama di sana dia sering diajak makan di rumah umat. Selalu saja ada sup. Menariknya, lama-lama rasanya ya itu-itu saja. Lha, Bruder, mau rasa apa lagi. Memang itu kan Chinese food. Ya rasanya seperti itu. Tetapi katanya Chinese food di Indonesia lebih enak, karena terasa bumbunya. Hahaha.
So bagaimana pun tinggal di Indonesia lebih baik. Tentu saja, kata orang Home Sweet Home.
Setelah kami amati, memang kakinya tidak lagi sebesar sebelumnya, sudah agak mengempis. Tetapi akan berapa lama? Tergantung kesetiaanya memakai kaus kaki. Sebab kata dokter, kalaupun dioperasi, maka setelah satu dua tahun akan kembali bengkak seperti itu.
Sementara menunggu hasil pemeriksaan, Br. Giyanto melewati hari Imlek di Paroki St. Ignatius (St. Ignatius Church) di Petaling Jaya. Apa kesannya? Misa imlek di sana biasa-biasa saja. Barangkali seperti Misa Tahun Baru 1 Januari. Malahan Misa Imlek di Indonesia dirayakan luar biasa meriah. Hmmm. Menarik juga ya. Lalu selama di sana dia sering diajak makan di rumah umat. Selalu saja ada sup. Menariknya, lama-lama rasanya ya itu-itu saja. Lha, Bruder, mau rasa apa lagi. Memang itu kan Chinese food. Ya rasanya seperti itu. Tetapi katanya Chinese food di Indonesia lebih enak, karena terasa bumbunya. Hahaha.
So bagaimana pun tinggal di Indonesia lebih baik. Tentu saja, kata orang Home Sweet Home.
Tugas Baru
Br. Giyanto sudah cukup lama di sini, sejak Rm. Yandhie terpilih sebagai provinsial. Dia ditugaskan menjadi bendahara provinsial. Namun dalam prakteknya adalah bendahara biara. Namun dia tidak mempersoalkan hal itu. Yang penting baginya adalah sejauh tugas yang dijalankannya berguna bagi orang lain. Jadi sudah kira-kira lima tahun dia tinggal di Batu. Sebenarnya sudah sejak akhir tahun lalu Br. Giyanto hendak ditugaskan di tempat lain. Namun karena tenaganya untuk mengurus keuangan masih sangat di butuhkan, sementara Br. Andre belum siap, maka perpindahannya agak ditunda.
Selain itu, provinsial berpikir untuk memeriksakan penyakitnya. Selama ini Br. Giyanto tidak pernah mengeluh tentang kakinya yang bengkak. Dia katakan apa yang perlu dikeluhkan, karena tidak merasakan sakit apa pun. Hanya kalau terlalu banyak jalan, barulah akan terasa sakit. Karena itulah pada tanggal 8 Februari 2007 Provinsial mendampingi Br. Giyanto memeriksakan penyakitnya ke Malaysia. Mereka berdua rencananya mau ke Malaka untuk berobat, karena informasi di Indonesia bahwa dokter dan perawatan di sana lebih baik dan murah. Namun setelah tiba di Kuala Lumpur, Rm. Martin Then justru menyarankan untuk memeriksakan penyakit itu di KL saja. Alasannya karena di Malaka justru fasilitas kesehatan tidak sebaik di KL. Jadilah provinsial dan bruder tinggal di KL sambil menunggu hasil pemeriksaan.
Setelah kembali ke Indonesia, Br. Giyanto masih beberapa waktu tinggal di Batu sambil mempersiapkan Br. Andre mengambil alih tugasnya. Maka pada tanggal 5 Maret ini secara resmi Br. Giyanto pindah ke Sawiran. Sementara ini, sesuai dengan pembicaraan Rm. Sukamto dengan Rm. Provinsial, Br. Giyanto akan ditugaskan sebagai koordinator kantor Sawiran, sambil sekali-sekali membantu pembinaan.
Maka selamat bertugas, Bruder. Selama di Batu Anda sudah banyak melayani dan mengurus rumah tangga biara Batu dengan baik sekali. Kami semua merasa kehilangan.
Selain itu, provinsial berpikir untuk memeriksakan penyakitnya. Selama ini Br. Giyanto tidak pernah mengeluh tentang kakinya yang bengkak. Dia katakan apa yang perlu dikeluhkan, karena tidak merasakan sakit apa pun. Hanya kalau terlalu banyak jalan, barulah akan terasa sakit. Karena itulah pada tanggal 8 Februari 2007 Provinsial mendampingi Br. Giyanto memeriksakan penyakitnya ke Malaysia. Mereka berdua rencananya mau ke Malaka untuk berobat, karena informasi di Indonesia bahwa dokter dan perawatan di sana lebih baik dan murah. Namun setelah tiba di Kuala Lumpur, Rm. Martin Then justru menyarankan untuk memeriksakan penyakit itu di KL saja. Alasannya karena di Malaka justru fasilitas kesehatan tidak sebaik di KL. Jadilah provinsial dan bruder tinggal di KL sambil menunggu hasil pemeriksaan.
Setelah kembali ke Indonesia, Br. Giyanto masih beberapa waktu tinggal di Batu sambil mempersiapkan Br. Andre mengambil alih tugasnya. Maka pada tanggal 5 Maret ini secara resmi Br. Giyanto pindah ke Sawiran. Sementara ini, sesuai dengan pembicaraan Rm. Sukamto dengan Rm. Provinsial, Br. Giyanto akan ditugaskan sebagai koordinator kantor Sawiran, sambil sekali-sekali membantu pembinaan.
Maka selamat bertugas, Bruder. Selama di Batu Anda sudah banyak melayani dan mengurus rumah tangga biara Batu dengan baik sekali. Kami semua merasa kehilangan.
Subscribe to:
Posts (Atom)