Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

23 March 2009

Misa Syukur Hari Raya Santo Yusup Pelindung Yayasan dan Sekolah Kolese Santo Yusup Malang, Yayasan dan Sekolah yang dikelola oleh CDD












Hari kamis, 19 Maret 2009, kongregasi Murid-murid Tuhan memperingati Santo Yusup yang menjadi pelindung Yayasan dan Sekolah-sekolah yang dikelola oleh CDD di Malang dan Bali. Misa berlangsung meriah dan disemarakkan dengan kehadiran enam imam CDD dalam misa konselebrasi. Misa kudus dipimpin oleh Romo Willy CDD sebagai ketua yayasan Santo Yusup didampingi oleh Pater Lodewiyk CDD provinsial CDD, Rm Yuki CDD wakil provinsial, Rm Agustinus Lee CDD, Rm Sukamto CDD dan Rm Marianus CDD, ketiganya adalah konsultor CDD propinsi Indonesia. Dalam misa kudus ini, para frater skolastik CDD dan frater novisiat CDD juga hadir untuk ikut memeriahkan acara. Br Giyanto CDD dari Sawiran juga hadir dalam acara ini.

Dalam misa ini, Rm Willy menekankan bahwa meskipun kita sedang berpesta tetapi kita jangan melupakan bahwa kita sedang berada dalam masa prapaskah, masa puasa dan pantang untuk menyambut kebangkitan Tuhan. Dalam misa ini juga, kita perlu mengingat dan mendoakan saudara-saudara kita yang sedang berkesusahan. Santo Yusup adalah seorang pribadi yang tulus, lurus dan jujur. Apa maksudnya ? Rm Willy menegaskan bahwa sebagai wacana, kata jujur, tulus dan lurus memang tinggal kata-kata oleh sebab itu, yang penting adalah tindakan ! menurut Rm yang terkenal karena kecintaannya pada alam dan juga pada pelayanan masyarakat kecil ini, ketika kita mulai melirik kemewahan atau hidup dengan mewah maka sikap ketidakjujuran akan mengintai dan siap merusak semuanya.







Misa yang berlangsung dengan hikmat ini dihadiri oleh seluruh guru dan karyawan serta murid-murid dari unit TK, SD, SMP dan SMA yang berasal dari kota Malang dan Bali.







Setelah misa selesai, acara dilanjutkan dengan defile yang menampilkan atraksi dari para siswa SD, SMP dan SMA. Unit SMP KOSAYU dari Bali juga turut unjuk gigi dengan seni tradisi khas bali yang menawan. Acara defile yang dilangsungkan di sekolah St Yusup ini adalah salah satu kegiatan yang dirintis oleh Pastor Wang CDD. Kegiatan ini bermaksud untuk menumbuhkan semangat kecintaan dan ketahanan dari para siswa-siswi KOSAYU ( sebutan untuk Kolose Santo Yusup ). Dengan semangat yang membara, para siswa menunjukkan kecintaan dan keuletannya dalam mengabdi ilmu di KOSAYU. Di Taiwan acara ini juga diadakan setiap tahun di persekolahan Heng yee yang juga dikelola oleh imam-imam CDD propinsi Zhongguo.Seluruh rangkaian acara diakhiri dengan santap siang bersama di aula terbuka di samping SMA St Yusup.







Semoga semangat dan keteladan S.Yusup menyemangati kita semua dalam mengemban tugas dan karya kita masing-masing disetiap unit kerja kita baik sebagai imam, bruder, frater CDD maupun sebagai guru,karyawan dan murid di S Yusup yang dikelola oleh Kongregasi Murid-murid Tuhan.



Tetap Bersemangat

Salam dan doa


Fr Ignashuang CDD

In Memoriam: Uskup Joseph Jiang Mingyuan CDD


CINA - Uskup Bawah Tanah Zhaoxian, Hebei, Meninggal Dunia Di Usia 77 Tahun
2008-7-15

ZHAOXIAN, Cina (UCAN) -- Uskup Zhaoxian Mgr Joseph Jiang Mingyuan dari Gereja bawah tanah, yang dikenal karena kehematan dan kesederhanaannya, meninggal dunia pada 13 Juli dini hari di usia 77 tahun.

Berita kematian dari Keuskupan Zhaoxian memuji uskup yang diakui Vatikan itu sebagai “seorang gembala baik bagi kawanan dombanya dan seorang anggota setia dari Tarekat Murid-Murid Tuhan, yang telah menjalankan kehidupan iman yang kokoh dan tekun.”

Kardinal Celso Costantini, utusan pertama Vatikan untuk Cina, mendirikan tarekat itu di Cina bagian utara pada tahun 1927.

Pemakaman mendiang uskup itu direncanakan 19 Juli pagi di gereja Biancun di daerah Ningjin, Hebei, 290 kilometer tenggara Beijing.

Pemerintah Cina mengakui Uskup Jiang hanya sebagai seorang imam, bukan uskup.

Suster Teresa Wang Qingfen, seorang biarawati dari keuskupan Zhaoxian, menjenguk prelatus itu di sanatorium yang dikelola keuskupan untuk kaum klerus sehari sebelum ia meninggal. Suster itu mengatakan kepada UCA News pada 13 Juli bahwa Uskup Jiang hanya bisa menerima tetesan infus ke dalam pembuluh darah dan makanan cair selama beberapa hari sebelum ia meninggal.

Suster Wang, direktur Liming Family, sebuah pusat rehabilitasi yang dikelola gereja untuk anak-anak cacat fisik dan mental, menggambarkan mendiang uskup itu sebagai “pria yang sabar dan rendah hati, yang menjalani hidup sederhana.”

Suster itu menceritakan bahwa setelah tahbisan imam, dia sering bersepeda dalam jarak yang jauh, kadang 100 kilometer dalam sehari, untuk karya pastoral dan evangelisasi, atau membeli tiket paling murah jika ia mengadakan perjalanan dengan kereta api.

Suster itu juga menceritakan bahwa pada suatu kali ketika uskup itu mengunjungi para suster di tarekatnya yang berkarya di panti kusta di Cina bagian selatan, ia datang tanpa makan selama 36 jam, karena ia ingin menghemat uang.

Seorang imam dari Zhaoxian mengatakan bahwa ia mengagumi kerendahan hati Uskup Jiang. Ia menceritakan bagaimana prelatus itu dulu biasa mengisi kembali mangkuk nasi para seminaris, suatu kebiasaan yang dilakukan orang muda Cina untuk para sesepuh. Ketika bepergian, uskup itu tidak akan menginap meskipun di penginapan murah, malah lebih suka tidur di stasiun kereta api, katanya.

Seorang seminaris, beserta salah satu dari beberapa imam, para biarawati dan frater dari Zhaoxian yang belajar di luar negeri, mengatakan kepada UCA News bahwa ia dan yang lainnya mengenang uskup mereka dalam Misa requiem 13 Juli sore bersama para mahasiswa Cina daratan lainnya.

Konselebran utama, katanya, berkotbah tentang bagaimana mendiang prelatus itu “dengan tenang menerima banyak penyiksaan, kesulitan, dan kesalahpahaman dalam hidupnya.”

Seminaris itu, yang berusia 20an, menambahkan bahwa Uskup Jiang mendukung dia melalui surat-surat supaya melakukan yang terbaik dalam belajar sehingga mendapat bekal untuk melayani Gereja, yang “butuh imam-imam cerdas dan berbudi luhur.”

Tahun lalu, selama liburan sekolah, seminaris itu mengunjungi prelatus yang sedang sakit. Ia menceritakan bahwa Uskup Jian “memegang kedua tangan saya” dan mengatakan: “Kamu mungkin tidak dapat bertemu saya waktu kamu datang ke sini lagi. Ketika saya seumuran kamu, saya sudah dipenjara. Saya menghabiskan sebagian besar masa muda saya di penjara.”

Uskup Jiang dilahirkan di sebuah keluarga Katolik pada 21 Februari 1931. Ia belajar di seminari menengah tahun 1944-1946 dan menempuh studi filsafat dan teologi tahun 1953-1958, setelah Republik Rakyat Cina terbentuk tahun 1949.

Ia dipaksa menjadi buruh pada akhir tahun 1958, tetapi ia ditangkap tahun 1961 dan dijatuhi hukuman untuk memperbaiki diri dengan menjadi buruh sampai tahun 1969. Para pejabat masih memantau dia setelah ia dibebaskan.

Ia ditahbiskan imam tahun 1981 dalam Kongregasi Murid-murid Tuhan (CDD).

Tidak lama sesudah Uskup Zhaoxian Mgr Raymond Wang Chonglin menahbiskannya secara rahasia sebagai seorang uskup koadjutor pada 8 Agustus 2000, Uskup Jiang ditangkap dan ditahan selama lima bulan. Kemudian pada tahun itu juga, ia menderita pendarahan otak.

Uskup Wang, 87, seorang uskup bawah tanah yang ditempatkan di Gereja yang diakui pemerintah tahun 1998 sebagai Uskup Xingtai, sebuah keuskupan ciptaan pemerintah yang mencakup Zhaoxian, juga ditahan setelah ia mentahbiskan Uskup Jiang. Setelah dibebaskan, ia dilarang menahbiskan imam-imam baru.

Uskup Jiang ditugaskan sebagai pemimpin Keuskupan Zhaoxian pada sebuah Misa Krisma 22 Maret 2006, setelah Paus Benediktus XVI menyetujui pengunduran diri uskup Wang. Namun, setahun kemudian, karena kesehatan yang buruk, Uskup Jiang mengembalikan keuskupan itu kepada Uskup Wang.

Setelah serangan jantung pada bulan Maret tahun ini, Uskup Jiang dua kali dirawat di rumah sakit. Ia kemudian tinggal di sanatorium yang dikelola Gereja sampai ajalnya tiba.

Zhaoxian saat ini memiliki 57 imam, 84 suster, dan 48 mahasiswa seminari tinggi yang melayani kira-kira 57.300 umat Katolik.

22 March 2009

DARI MISI MENUJU KEMARTIRAN
Santo Yohanes dari Triora
Peringatan: 7 Februari

Masa Muda

Santo Yohanes Fransiskus Maria Lantrua dari Triora merupakan buah kasih dari Antonio Maria Lantrua dan Maria Pasqua Ferraironi. Dia lahir di Molini di Triora pada tanggal 15 marzo 1760. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Triora, Yohanes masuk ke sekolah yang dikelola oleh para Barnabas (imam dari tarekat St. Paulus) di Porto Maurizio (Imperia). Di sinilah dia tertarik dengan hidup rohani dan ingin menjadi imam. Umat daerah ini mempunyai kenangan yang dalam akan Santo Leonardo (1676-1751). Dia adalah pengkotbah dan pewarta yang tiada kenal lelah kepada penduduk pada masa-masa devosi Jalan Salib tersebar di sana. Karena itu tidaklah sulit memahami bahwa pertemuan Francesco Maria dengan kenangan akan St. Leonardo menjadi benih pertama panggilannya dan idealismnya menjadi seorang misionaris. Namun kedua orangtuanya tidak setuju. Dengan susah payah setelah mendapatkan persetujuan mereka, pada tahun 1777 dalam usia 17 tahun Yohanes berangkat ke Roma karena diterima oleh Luigi da Porto Maurizio, provinsial Fransiskan. Di Roma dia mengenakan pakaian biara pada tanggal 9 Marte, dan mengubah nama baptisnya dari Fransiskus Maria menjadi Yohanes. Selanjutnya dia belajar filsafat dan teologi, dan ditahbiskan pada usia 24 tahun. Setelah itu dia mendapat tugas sebagai guru yang mengajar filsafat di Tivoli, kemudian mengajar Teologi di Tarquinia, dan terakhir menjadi pimpinan di biara di Tarquinia, Velletri dan Montecelio. Namun

Misi ke China

Kerinduan untuk misi ke daerah yang jauh untuk mewartakan Injil Yesus Kristus tidak pernah hilling dari P. Yohanes. Karena pada tahun 1798 dia mendapat tugas menjadi misionari ke negara yang jauh di Timur, ke China. Pada tahun 1799 Yohanes meninggalkan kota Roma, tiba di Lisboa untuk berangkat ke China. Perjalanan melalui laut memang tidak mudah. Dua kali kapal mereka hampir tenggelam, sementara di laut dekat pulau jawa, mereka dirompak. Seorang kapten kapal berkebangsaan Swedia, walaupun beragama protestan, menawarkan diri mengantarkannya sampai ke Makau. Sementara itu, seorang Belanda yang bekerja di VOC menyambutnya tinggal di rumahnya selama satu bulan sebelum berangkat, dan memberikan sumbangan yang cukup untuk perjalanan ini.

Enam bulan kemudian Yohanes tiba di Makau. Di sana dia belajar bahasa China dan mulai menyesuaikan diri dengan kultur Timur. Dia berpakaian seperti penduduk sekitar, berbicara dengan bahasa yang mereka mereka mengerti. Dengan bekal seperti itu dia siap menjelajah seluruh China untuk mewartakan Injil. Selama satu tahun P. Yohanes menantikan kesempatan untuk bertemu dengan Kaisar. Sewaktu kesempatan itu tiba, Mons. Gioacchino Salvetti, Vicarius Apostolik di Makau, menugaskannya ke provinsi Hunan untuk berkarya selama dua tahun setengah meneguhkan iman umat. Di sana P. Yohanes meneguhkan iman mereka dengan tema Sengsara Tuhan, dan menyebarkan devosi Jalan Salib.

Sejumlah baptisan baru bermunculan di tempat P. Yohanes berkarya, meskipun ada larangan pewartaan iman ini. Larangan ini muncul karena kesalahpahaman tentang ritus China yang disebabkan oleh perdebatan teologis antara Yesuit dan Dominikan. Karena itu P. Yohanes menjalankan pewartaan secara tidak langsung.

Sewaktu bermisi ke Hunan, Vicarius Apostoli mengutusnya ke daerah Hanzhong pada tahun 1804, di provinsi Shenxi, di mana terdapat enam ribu umat kristiani. Di sana dia begitu bersemangat mewartakan Kristus. Pada tahun 1811 kaum Mandarin mulai menerapkan sungguh-sungguh peraturan yang dibuat oeh Kaisar Kangxi untuk mengendalikan para misionaris, karena mencurigai para misionaris dan umat beriman mendukung sekelompok pemberontak. Penyiksaan dilakukan untuk menghapuskan sama sekali umat kristiani di daerah itu dan mengusir semua misionaris keluar dari wilayah kekaisaran.

Agar tidak membahayakan umat di Shenxi, Yohanes pergi ke daerah Hubei, sambil menantikan perintah lebih lanjut dari Mgr. Salvetti. Juga di sana dia berupaya keras memenangkan jiwa bagi Kristus. Hampir semua umat di Huopan berubah murtad karena takut terhadap ancaman pemerintah. Begitu mengetahui hal ini, Yohanes merasa sangat sedih dan memutuskan untuk pergi ke sana membawa mereka kembali kepada iman, meskipun teman-teman Yohanes memintanya untuk membatalkan niatnya. Sesampainya di tempat, Yohanes berhasil mengembalikan umat ke dalam pangkuan Gereja. Dengan dibantu oleh para katekis lokal dan keluarga-keluarga kristiani yang imannya sangat teguh, usaha evangelisasinya memperoleh hasil yang luar biasa. Dia menyemangati umat kristiani yang berada dallam krisis, dan menjadikannya baru.

Pada tahun 1815 sekali lagi dikeluarkan aturan yang menentang umat kristiani, namun tidak semua daerah mentaati aturan itu. Hunan pada masa itu ternyata sudah dikuasi kaum pemberontak, malahan membiarkan dan membebaskan umat kristiani. Namun musuh-musuh Gereja yang memang tidak suka dengan Yohanes menuduhnya mewartakan agama yang dilarang, dan karena itu Yohanes bersembunyi di rumah pimpinan pemberontak. Yohanes yang mengetahui fitnah keji itu sebenarnya bisa menyelamatkan dirinya, namun sebagai seorang gembala yang baik, dia memilih tetap bersama domba-dombanya, apalagi di tempat itu tidak ada iman yang lain.

Kemartiran

Tanggal 26 Juli 1815 setelah merayakan Misa pada suatu malam, P. Yohanes bertanya kepada umat kristiani yang berkumpul apakah mereka takut akan siksaan para penangkapnya. Untuk dirinya sendiri, dia tidak takut apa pun bila ditangkap. Umat beriman yang mendengar kotbah misionaris ini dikuatkan, dan mereka berkata: “Bila Pater tidak takut, kami pun tidak takut.” Setelah itu dia memberkati mereka, dan menyuruh mereka kembali ke rumah mereka, sementara dia melewati malam itu sendirian dalam doa. Menjelang fajar pagi para serdadu sudah tiba, masuk ke tempat tinggalnya, memporakporandakan pastoran, dan membakar gereja, lalu membawa pergi P. Yohanes. Dia diminta menyangkal imannya, namun Yohanes menolak: “Sekalipun aku harus mati, aku tidak akan pernah menyangkal imanku.”

Setelah masa tenang ke dua dialami dalam karya misi, tiba kembali masa yang menakutkan, yang berakhir pada kemartiran P. Yohanes. Penderitaan semacam ini bagaikan penderitaan di Kalvari, dan berkali-kali P. Yohanes tidak mau menyangkal imannya bersama beberapa umat kristiani lainnya. Tanggal 7 Februari 1816 frate Yohanes dari Triora digiring ke panggung hukuman.

Sesampainya di tempat hukuman, P. Yohanes dihadapkan kepada orang banyak. Dia meminta diijinkan berdoa sekali lagi. Dan dia membuat tanda salib, dan di depan pandangan rakyat, dia bersujud sampai dahinya menyentuh tanah lima kali sebagaimana kebiasaan orang Katolik China memberi hormat. Sewaktu memberi hormat ini dia menunjukkan imannya, yang melambangkan syukur kepada Allah Tritunggal atas penciptaan, penebusan, karunia rahmat, rahmat dari sakramen dan rahmat khusus yang diterimanya.

Kemudian dia menutup penghormatannya ini dengan berkata kepada para algojo: “Lakukanlah apa yang harus kalian lakukan.” Segera rantai yang membelenggu dia dilelpaskan, dan digiring ke salib yang sudah disiapkan, diikat di sana, dan seutuas tambang dilingkarkan ke lehernya. Dengan satu suitan kepada kuda, algojo bergerak mundur, dan tali tertarik. Setelah itu, tali itu direnggangkan, dan tubuh P. Yohanes menjadi lemas tergeletak di tanah.

Beberapa waktu sesudahnya, jenazah Yohanes dibawa ke katedral di Makau, dan dari sana diteruskan ke Roma, ke basilica Santa Maria Aracoeli. Tanggal 27 Mei 1900 Paus Leo XIII memberikan gelar Beato kepadanya, dan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 2000 memberinya gelar Santo.

16 March 2009

Artis ibukota Nugie mengunjungi biara CDD di Batu



Nugie …Artis papan atas tahun 90-an yang masih eksis sampai sekarang mengunjungi biara Fatima CDD di kota Batu. Hari itu sabtu tgl 14 Maret 2009, pukul 14.00, Nugie datang ke Biara Batu CDD dengan ditemani oleh Rm Yuki CDD dan Rm Eko O.Carm dari Komisi Kepemudaan Keuskupan Malang. Pelantun dan pengarang lagu Burung Gereja yang termasyur itu datang ke kota Malang dalam rangka mengikuti malam Pentas Seni yang diselenggarakan oleh SMAK KOSAYU (SMAK St YUSUP ) Malang. Disela-sela acara tersebut, Nugie menyempatkan diri untuk berdoa sejenak di kapel Biara CDD Batu.
Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para frater CDD yang bermukim di biara Batu. Maka setelah Nugie selesai berdoa bersama dengan Romo dan para frater di kapel, acara foto bersama pun diadakan. Kebetulan sekali, Pater Provinsial CDD Pater Lodewiyk CDD juga berada di tempat. Maka pertemuan dengan Nugie terasa semakin lengkap tatkala Pater Provinsial berkenan memberikan sebuah gambar Yesus dengan pemandangan alam yang indah dan teduh kepada Nugie. Pater Lodewiyk berpesan tatkala mengalami kegundahan, kesulitan dalam hidup atau ketika lelah dan capek, pandanglah lukisan pemandangan ini yang menggambarkan kebesaran Tuhan. Wow…Nugie senang sekali dan rupanya meskipun terkenal sebagai artis papan atas, Nugie juga seorang yang beriman kepada Tuhan dan yang pasti, ia juga mengagumi keindahan dan keasrian biara Batu…hal ini cocok sekali dengan tugasnya selain sebagai penyanyi dan pengarang lagu yaitu menjadi duta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Pantas saja Nugie mengagumi keindahan alam di sekitar biara CDD Batu yang hijau.
Acara temu dengan Nugie tidak bisa lama karena ia harus segera kembali ke hotel untuk istirahat dan mempersiapkan diri untuk acara malam harinya di KOSAYU. Bagaimanapun, kehadiran Nugie membuat suasana biara sedikit berubah dan semoga semakin meneguhkan hidup panggilan para frater CDD. Kedatangan Nugie dapat dimaknai dan menjadi bahan sharing para frater bahwa pilihan hidup seseorang adalah jalan hidup yang harus dijalani dengan serius dan sungguh-sungguh. Disamping itu juga harus selalu berserah kepada Tuhan.
Kedatangan Nugie juga membuat kelucuan bagi para frater. Lucunya adalah Ibu Sul yang sudah bekerja puluhan tahun di biara Batu berkomentar “aku sering ketemu orang itu ( Nugie )”… Lho..dimana ? kapan ? para frater bingung…dengan santai ibu Sul menjawab di TV…..walah Bu Sul….ono ae….hahahahahaha.


Salam dan doa
Ignas Huang CDD

12 March 2009

Kritik Terhadap Penafsiran Keliru Liturgi KVII


Uskup Agung Macolm Ranjith, Sekretari Kongregasi Ibadah Ilahi, dalam berita Catholic World News 23 Februari yang lalu, menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan dalam memahami ajaran Konsili Vatikan II dan pengaruh ideologi sekular merupakan alasan untuk menyimpukan bahwa, seperti kata Kardinal Joseph Ratzinger pada tahun 1985, "saat Vatikan II beum tiba." Teristimewa menyangkut bidang liturgi, Uskup Agung Ranjith mengatakan, "Reformasi masih harus diteruskan."

Uskup Agung Ranjith memberikan komentar-komentarnya dalam Kata Pengantar sebuah buku baru yang didasarkan pada diari dancatatan Cardinal Fernando Antonelli, yang merupakan tokoh kunci dalam gerakan reformasi liturgi baik sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II.

Tulisan Kardinal Antonelli, kata Uskup Agung Ranjith, membantu pembaca "memahami kompleksitas pergumuan dalam reformasi liturgi sebelum dan segera sesudah Konsili." Pejabat Vatikan ini menyimpulkan bahwa implementasi usulan reformasi dari Konsili sering menyimpang dari maksud sesungguhnya para Bapa Konsili. Sebagai akibatnya, demikian kata Uskup Agung Ranjith, liturgi sekarang ini bukanlah perwujudan sesungguhnya dari pandangan yang diungkapan dalam dokumen liturgi KV II, Sacrosanctum Concilium.

Secara khusus Uskup Agung ini menuliskan:

Beberapa praktek yang tidak pernah dibayangkan oleh Sacrosanctum Concilium dalam Liturgi adalah Misa versus populum (menghadap umat), menyambut komuni dengan tangan, menggantikan bahasa Latin dan lagu Gregorian dengan bahasa profan dan lagu-lagu yang tidak memberikan tempat yang cukup bagi Allah, terlalu gampangnya mengadakan konselebrasi Misa (dengan pendeta). Juga salah paham yang besar terhadap pengertian "partisipasi aktif".

Maka pejabat Gereja dari Sri Lanka ini, dan pernah menjabat duta besar Vatikan untuk Indonesia, menyatakan diperlukannya "pembaharuan terhadap pembaharuan " liturgi.

Dalam perjalanannya, pembaharuan liturgi yang berjalan sekarang ini memutuskan hubungan terhadap tradisi terdahulu dari Gereja. Menurut Uskup Agung Ranjith:

Konsep dasar dan tema seperti Kurban dan Penebusan, Misi, Pewartaan dan Pertobatan, Adorasi sebagai unsur integral dari Komuni, dan Gereja diperlukan untuk keselamatan - semuanya dikesampingkan, sementara dialog, inkulturasi, ekumene, Ekaristi sebagai perjamuan, evangelisasi sebagai kesaksian, dan lain-lain, menjadi lebih penting. Nilai-nilai pokok disepelekan.

Maka, tulis Uskup Agung Ranjith, Gereja dapat melihat kembali dan mengenali pengaruh-pengaruh yang mendistorsi maksud asli Konsili. Pengenalan ini bisa membuat kita menyadari perlunya "pembaharuan dari pembahuran,bukan semata-mata keinginan untuk memperbaiki kesalahan yang lalu, namun lebih lagi setia kepada apa sebenarnya Liturgi itu dan maknanya bagi kita, dan juga apa yang dimaksudkan oleh Konsili."