Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

19 March 2013

Menghayati Ekaristi di Tahun Iman

Fr. Agustinus Soko Kowe CDD


Tahun Iman dan Seruan Sri Paus
Paus Benediktus XVI menyebut Tahun Iman sebagai suatu kesempatan yang sangat istimewa bagi setiap umat Katolik untuk lebih mengimani pesan kasih Allah dalam diri Yesus Kristus dan menyebarluaskan (mewartakanya) ke seluruh penjuru dunia. Melalui Tahun Iman, kita sekali lagi diajak untuk bersama-sama menemukan kembali iman Katolik. Menemukan kembali Iman Katolik berarti menemukan cara Allah mencintai manusia dan bagaimana seharusnya manusia menanggapi kasih itu.
Iman itu tidak sekali jadi (instan) tetapi melalui proses yang panjang. Perjalanan iman kita untuk menyambut kasih Allah dimulai dengan pembaptisan (bdk.Rom 6:4) dan kemudian terus berlanjut sepanjang hidup. Dalam perjalanan selanjutnya terkadang orang menjadi lupa akan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai orang yang beriman kepada Kristus Yesus. Banyak orang mulai tergiur dan terseret oleh tawaran-tawaran dunia yang sangat menarik dan memberikan kepuasan yang nyatanya bersifat semu. Orang lebih menaruh perhatian kepada konsekuensi-konsekuensi sosial, budaya, dan politis dari komitmen mereka.[1] Melalui Tahun Iman ini Gereja kembali menyadarkan kita semua dan mengundang kita semua untuk berkomitmen sekali lagi dalam melanjutkan perjalanan menuju kasih Allah.
Tahun Iman berlangsung dari tanggal 11 Oktober 2012 hingga 24 November 2013. Hal ini bertepatan dengan dua peristiwa penting dalam Gereja Katolik yakni: ulang tahun ke limapuluh pembukaan Konsili Vatikan II dan ulang tahun ke duapuluh dipublikasikannya Katekismus Gereja Katolik.    
Tahun iman merupakan panggilan untuk kembali mendekatkan diri kepada Yesus satu-satunya juru selamat dunia yang melalui misteri paskah menunjukan kasih-Nya kepada dunia dan mendorong manusia untuk bersaksi tentang imannya itu. Gereja menyebut upaya mendekatkan diri kepada Kristus sebagai suatu pertobatan. Praktisnya di tahun iman ini kita semua diajak untuk menerima Sakramen Tobat secara lebih sering. Selain itu Paus juga menganjurkan beberapa kegiatan yang harus dilakukan selama Tahun Imam seperti: membaca cerita orang kudus, berziarah, mempelajari salah satu bagian dari katekismus, menghafalkan dalam hati doa credo, berdoa kepada Santa Perawan Maria setiap hari, terlibat dalam misi paroki, membaca salah satu dokumen penting Konsili Vatikan II, aktif dalam kegiatan lingkungan dan paroki, dan terlibat serta menghayati Ekaristi yang dirayakan yang merupakan puncak iman Katolik. Semuanya itu dimaksudkan agar kita menemukan kedalaman dan kekayaan iman yang selama ini kita hayati.
Pada bagian selanjutnya secara khusus akan dibicarakan mengenai Ekaristi yang merupanan "puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan ... tetapi juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu ... mengalir"[2] Menjadi suatu keharusan bari umat kristiani untuk lebih menghayati misteri penebusan Kristus yang terungkap dalam perayaan Ekaristi kudus tidak saja di Tahun Iman ini tetapi di sepanjang peziarahan hidup mereka di dunia ini.

 Ekaristi Puncak Iman Katolik
Iman haruslah dimaknai dalam tindakan nyata, iman tak dapat dipisahkan dari tindakan atau perbuatan karena iman tanpa perbuatan adalah mati. Tindakan membantu seseorang mengakui atau menunjukan apa yang ia imani. Pengakuan iman itu diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental dimana Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya membangun Gereja. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan itu akan kehilangan rahmat yang mendukung kesaksiannya secara kristiani. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan akan iman kepercayaan kita akan terasa hambar dan kering. Demikianlah yang dikehendaki oleh Paus Benediktus XVI agar ada kebangkitan dalam diri setiap umat katolik aspirasi untuk mengakui iman kepercayaanya dengan keyakinan yang baru, yang penuh kepercayaan dan harapan. Untuk itulah Tahun Iman menjadi suatu kesempatan yang sangat baik untuk memaknai secara lebih mendalam perayaan iman itu dalam liturgi, teristimewa dalam perayaan Ekaristi yang adalah puncak ke mana seluruh kegitan Gereja diarahkan dan juga menjadi sumber darimana seluruh kekuatan itu mengalir. Ekaristi menjadi puncak seluruh kehidupan kristiani.
            Pada saat Gereja merayakan Ekaristi, peringatan akan wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus yang merupakan peristiwa sentral penyelamatan Kristus bagi dunia, Gereja sungguh-sungguh merasakan perwujutan karya penyelamatan Kristus itu. Pada peristiwa penyelamatan itu, Kristus sungguh-sungguh telah mengosongkan diri dan merendahkan diri (Fil 2:7-8), menyerahkan diri-Nya bagi keselamatan manusia. Demikianlah setiap orang dari umat beriman yang ikut ambil bagian dalam persembahan diri Kristus dapat memperoleh buah-buah yang tak kunjung kering.
            Merayakan Ekaristi berarti menghadirkan kurban Kristus. Dengan merayakan Ekaristi kita tidak hanya ingat akan kurban salib Kristus tetapi juga ingat akan kebangkitan-Nya. Mempersembahakan kurban dalam Ekaristi berarti mempersatukan diri dengan kurban Kristus karena Ekaristi sendiri adalah Allah beserta kita. Ia adalah Yesus yang hadir dalam darah daging-Nya. Ia adalah Yesus yang tersembunyi dalam rupa roti, sehingga ia sungguh hadir dalam kita yang menyantapnya.
            Dalam perayaan Ekaristi manusia ikut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus Allah dengan Kristus sebagai Imam dan Kurbannya. Lewat dan dalam Ekaristi terjadilah persekutuan antara surga dan bumi [3]. Dalam dan melalui Ekaristi iman Gereja akan kurban Kristus di kayu salib, dan perjamuan yang mempersatukan manusia dengan Bapa di surga diungkapkan. 

Ekaristi Membangun Gereja
            Ekaristi adalah pusat proses pertumbuhan Gereja karena melalui dan dengan Ekaristi kudus terungkap pokok iman kristiani yakni penebusan Kristus, wafat dan kebangkitan-Nya demi penebusan atas dosa-dosa manusia dan demi kesatuan manusia dengan Bapa di surga. Melalui dan dalam perayaan Ekaristi kita semua disatukan sebagai suatu kesatuan umat beriman yang membentuk satu tubuh dalam Kristus (Kor 10:17). Ekaristi mempersatukan semua komponen Gereja tidak saja dengan sesama tetapi lebih lagi dengan Allah, dan pada saat yang sama kita bukan saja menyambut Kristus datang dan hadir di hati kita masing-masing tetapi juga Kristus sendiri menyambut kita masing-masing untuk datang dan ambil bagian dalam karya keselamatan yang ditawarkan-Nya. Karena Kristus kita semua menjadi sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:16), karena Kristus pula kita semua memperoleh kehidupan “yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku akan hidup” (Yoh 6:57). Yesus yang ada dalam Ekaristi tinggal bersama kita sebagai sahabat, belahan jiwa, kekasih jiwa kita. Ia masuk dalam hati kita untuk menjadi makanan abadi bagi hidup kita.
            Persekutuan dalam Ekaristi meneguhkan Gereja dalam kesatuan sebagai tubuh mistik Kristus dengan Kristus sendiri sebagai kepala tubuhnya. Ekaristi meningkatkan pengalaman persaudaraan yang telah hadir dalam kebersamaan di meja perjamuan yang sama. Segala macam perbedaan dalam diri manusia ditangkal oleh daya pemersatu tubuh Kristus. Ekaristi menciptakan komunitas manusia yang harmonis dan membangun kesatuan dalam Gereja. Lewat kesatuannya dengan tubuh Kristus, Ekaristi secara mendalam menjadi tanda dan alat kesatuan mesra dengan Tuhan dan kesatuan dengan seluruh bangsa manusia. Semuanya, setiap warna kulit, setiap bahasa, merayakan liturgi yang sama, mempersembahkan kurban yang sama pula kepada Allah.[4] Satu Allah, satu Perantara, satu Kristus, satu altar (1Kor 10: 17).
Ekaristi memanggil semua orang yang terlibat di dalamnnya untuk mempertahankan, meningkatkan persekutuan dengan Allah Tritunggal dan persekutuan antara umat beriman[5]. Mempertahankan persekutuan ini secara utuh adalah tugas dan kewajiban para beriman katolik, yang ingin ambil bagian secara penuh dalam Ekaristi.
Kehadiran Ekaristi sendiri mengharuskan mereka yang menerimanya dengan layak untuk dapat memenuhi semua kewajiban kepada sesama manusia dan kepada Allah[6], kewajiban yang dimaksudkan di sini ialah kewajiban untuk mengamini setiap perintah Allah dan yang paling utama dari semua perintah itu ialah perintah untuk mencintai Allah melebihi segala sesuatu dan mencintai sesama manusia sebagaimana Allah telah mencintai kita dalam dan melalui Yesus Kristus. Dengan demikian Ekaristi telah menginspirasi suatu tatanan masyarakat yang teratur, suatu persekutuan Gereja yang penuh kasih dan persaudaraan sejati dengan Yesus Kristus sendiri menjadi kepala tubuhnya. Ekaristi menciptakan semangat cinta kasih di antara para anggota Gereja, secara istimewa Ekaristi mendorong persaudaraan sejati di antara mereka yang ikut ambil bagian dalam kurban yang satu dan sama kurban Kristus di salib.
Ekaristi menciptakan persekutuan dan mengembangkan persekutuan umat beriman. Dengan Ekaristi kudus yang dirayakan bersama oleh seluruh umat beriman di belahan dunia manapun dihadirkan kurban pendamaian salib Kristus bagi dunia.

Menghayati Ekaristi
Ekaristi merupakan kehadiran dan rangkuman seluruh rahasia keselamatan kristiani secara sakramental[7]. Ekaristi mengungkapkan adanya gerakan Allah kepada manusia dan gerakan manusia kepada Allah sebagai tanggapan terhadap tawaran keselamatan yang diberikan Allah sendiri kepada manusia, atau dengan kata lain di dalam Ekaristi terdapat dua dimensi sekaligus yakni anugerah dan tugas, Ekaristi adalah kemuliaan Allah dan keselamatan manusia. Di dalam Ekaristi terungkap secara menyeluruh hidup, kematian dan kebangkitan Kristus yang merupakan pokok iman kristiani. Ekaristi dengan demikian menutut adanya suatu jawaban dari pihak manusia. Allah memanggil dan menawarkan kepada manusia suatu karya keselamatan dalam diri Putera-Nya dan dari pihak manusia dituntut jawaban atas tawaran tersebut.
Pengungkapan atau pernyataan iman dalam Ekaristi tertuju kepada perwujutan dalam hidup sehari-hari. Perayaan Ekaristi hanya akan mempunyai arti jika benar-benar meneguhkan dan menguatkan iman sedemikian rupa sehingga orang dapat menghayati imannya dalam hidup sehari-hari, dalam perbuatan moral yang bertanggung jawab. Selanjutnya kita tidak boleh sekali-kali meragukan perubahan Roti dan Anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, karena inilah penghayatan iman katolik. Banyak peristiwa mujizat Ekaristi membuktikan bahwa dalam dan melalui Ekaristi kudus Allah sungguh-sungguh hadir. Peristiwa-peristiwa tersebut juga secara tidak langsung mau memberikan pesan kepada kita untuk; pertama, bahwa tidak boleh ada keraguan sedikitpun akan kehadiran Kristus Tuhan dalam rupa Roti dan Anggur yang telah dikonsekrirkan. Kedua, bahwa penghormatan sebesar-besarnya wajib kita berikan kepada Kristus dalam Ekaristi[8].
Menghayati Ekaristi dalam hidup berarti pula menaruh hormat yang besar kepada Ekaristi, mengambil bagian secara aktif dalam perayaan Ekaristi dan mempersembahkan diri seutuhnya; kehidupan kita, suka duka kita kepada Kristus. Sering terjadi bahwa orang kurang menghayati Ekaristi sebagai pokok iman, belum semua umat menempatkan Ekaristi sebagai pucak imannya. Sebagian orang menganggap Ekaristi hanya sebagai rutinitas yang diwajibkan Gereja, sebagian lagi kurang ambil bagian secara aktif di dalam perayaan Ekaristi, ada yang mengobrol selama perayaan Ekaristi, ada yang bermain Hp walaupun sudah ada peringatan untuk menonaktifkan Hp, ada yang mulai meninggalkan Gereja setelah menerima komuni. Hal-hal di atas menunjukan adanya kemerosotan dalam penghayatan iman dan kecendrungan kurang memaknai Ekaristi[9].
Semakin hari kita harus semakin menghayati dan memaknai hidup kita dengan kurban Ekaristi Kristus, semakin hari kita harus semakin mencintai Ekaristi.
Penutup
            Jika iman itu tidak disertai dengan perbuatan maka iman itu pada hakekatnya adalah mati….(Yak 2:14-18). Iman juga menuntut adanya suatu ungkapan kasih sebab iman tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah dan kasih tanpa iman hanya akan merupakan suatu perasaan yang berada di bawah kuasa kebimbangan.[10]
            Dengan menghayati Ekarsiti diharapkan iman kita tetap terpelihara dan diteguhkan dalam menghadapi terpaan gelombang dunia yang semakin hari semakin memikat dan menggiurkan, kita makin disadarkan akan panggilan hidup kita masing-masing yaitu panggilan untuk “mencintai”, sehingga pada akhirnya Firman Tuhan memperoleh kemajuan dan dimuliakan (2 Tes 3:1).



[1] Benediktus XVI, Porta Fidei, dalam Motu Proprio, Roma: 11 Oktober 2012, no 4.
[2] Ibid, No. 13.
[3] Scott Hann, 40 Kebiasaan Katolik Dan Akar Biblisnya, Malang: Dioma Publishing, 2011, hal 61.
[4] Celso Costantini, Induite Vos Armaturam Dei, terj,  Batu: Oktober 2008, hal,34
[5] Ecclesia De Eukaristia, Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja, terj, Jakarta: KWI, 2003, hal, 30.
[6] Celso Costantini, op.cit  hal,65.
[7] J. B. Banawiratama, SJ, Baptis, Krisma, Ekaristi, Jogjakarta: Kanisius, 1989, hal,189.
[8] Herman Musakabe, Menuju Hidup Yang Lebih Ekaristi, Bogor: Gradika Mardi Yuana, 2008, hal,4.
[9]  Ibid hal,6.
[10] Benediktus XVI, loc.cit.no, 14.

DAFTAR PUSTAKA

B. J. Banawiratama. SJ.  Baptis, Krisma, Ekaristi. (Jogjakarta: Kanisius, 1989) .
Benediktus XVI, Porta Fidei, dalam Motu Proprio ,Roma (11 Oktober 2012).
Costantini Celso. Induite Vos Armaturam Dei, terj  (Batu: Oktober 2008).
Ecclesia De Eucharistia, Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja, terj KWI (Jakarta: KWI, 2003).
Musakabe Herman. Menuju Hidup Yang Lebih Ekaristi. (Bogor: Gradika Mardi Yuana, 2008).
Hann. Scott 40 Kebiasaan Katolik Dan Akar Biblisnya (Malang: Dioma Publishing,2011).

19 Maret Pesta Santo Yosef, Pengukuhan Paus Fransiskus

Oleh: Shirley Hadisandjaja
 
Dari Vatikan kita telah menyaksikan pada hari ini 19 Maret, pada Hari Pesta Santo Yosef, Pelindung Gereja Universal, Pengukuhan Tahta Kepausan Bapa Suci Fransiskus.

Lautan umat datang ke Lapangan Santo Petrus untuk menghadiri Misa awal masa kepausan Paus Fransiskus. Sejak dari pukul 6 pagi tadi sudah ada antrian memasuki Lapangan. Anak-anak. Orang-orang muda, orang-orang dewasa, orang-orang lanjut usia, orang-orang sakit, para biarawan dan biarawati serta para delegasi internasional dari berbagai penjuru dunia, melambaikan bendera masing-masing Negara, selain bendera Italia, ada juga dari Amerika Serikat, India, Indonesia, Cina, Meksiko, Polandia, Jerman, Spanyol dan Australia. Yang tebanyak tentu saja bendera Argentina, kebangsaan Paus Bergoglio.
Selain daripada para peziarah, hadir pula 132 kepala negara dan pejabat pemerintahan serta para wartawan dari 81 negara.

Di dalam Homili-nya pada hari ini Paus Fransiskus yang sederhana dan lembah-lembut itu juga menampakkan keteguhan dan ketegasannya seperti halnya pendahulunya, Benediktus XVI.

Pada awal Homili, Paus Fransiskus memberikan Salam dan mengingat Paus emeritus Benediktus XVI-Joseph Ratzinger, mengartikan suatu “kebetulan yang amat kaya akan pemahaman” kenyataan bahwa pada hari ini adalah pesta nama dari “pendahulu yang terhormat”. Ia melanjutkan, “Kita dekat dengan dirinya dengan doa, penuh dengan kasih dan penghargaan”. 

Kemudian Paus menjelaskan bahwa “Allah tidak menginginkan sebuah rumah yang dibangun atas dasar manusia, namun menginginkan kesetiaan kepada firmanNya, kepada rencanaNya, dan Allah sendirilah yang membangun rumah itu, tetapi dari batu-batu yang hidup yang ditandai oleh RohNya”. Paus mengingat Santo Yosef yang “menjawab kepada panggilan Tuhan dengan kesediaan dan kesiapan dan pusat dari bakti Kristiani adalah Kristus, oleh karena itu, mari kita memelihara Dia di dalam hidup kita untuk memelihara orang lain dan karya penciptaan”.   

Paus kemudian mengatakan, “Bakti untuk memelihara tidak hanya melihat kita umat Kristiani. Santo Fransiskus Assisi mengajarkan untuk menghargai setiap makhluk hidup, lingkungan hidup.” Paus mengajak kita untuk “menghargai setiap orang, setiap individu, khususnya anak-anak, orang-orang lanjut usia, orang-orang yang paling hina dan lemah dan yang sering kali ada di pinggiran hati kita”. Untuk menjadi pemelihara di dalam segala situasi manusiawi: “sebagai orangtua, sebagai suami-istri, dan sebagai sahabat, di dalam kepercayaan satu sama lain, di dalam penghargaan satu sama lain dan di dalam kebaikan”.

Ia melanjutkan, “Kebencian, keirihatian, kesombongan mengotori kehidupan! Memelihara berarti menjaga perasaan-perasaan kita, hati kita, karena dari sana-lah lahir intensi-intensi yang baik dan buruk: yang membangun dan yang merusak! Janganlah kita merasa takut akan kebaikan, bahkan akan kelembutan!”.

Di dalam menjalankan pelayanannya, Paus melihat kepada “Santo Yosef yang rendah hati dan nyata dan seperti dirinya merangkul semua kemanusiaan”, kemudian ia mengingat penghakiman akhir dari Injil Santo Matius, “tentang belas kasih: siapa yang lapar, yang haus, orang asing, yang telanjang, yang sakit, yang dipenjara. Hanya dia yang melayani dengan belas kasih –katanya- tahu bagaimana memelihara”.

Paus kemudian melanjutkan bahwa, “Tugas dari Uskup Roma, Penerus Petrus, melibatkan juga sebuah kekuasaan karena Yesus telah memberikan kekuasaan kepada Santo Petrus, tetapi kekuasaan yang sesungguhnya adalah pelayanan dan Paus juga demi melaksanakan kekuasaannya harus lebih masuk lagi ke dalam pelayanan itu dan menerima dengan rasa kasih dan kelembutan seluruh kemanusiaan, terutama yang paling miskin, yang paling lemah, yang paling kecil”.

Paus juga mengingat Santo Paulus, “Pada masa ini juga di hadapan banyak langit kelam, kita perlu melihat sinar pengharapan dan memberikan diri kita sendiri harapan. Santo Paulus berbicara tentang Abraham, yang percaya dan kuat di dalam pengharapan di atas setiap harapan.” Ia mengulang kembali di hadapan lautan umat, “kuat di dalam pengharapan di atas setiap harapan!”.
Di akhir Homili, Paus Fransiskus berkata, “Saya memohon perantaraan Santa Perawan Maria dan Santo Yosef, Santo Petrus dan Paulus, Santo Fransiskus, sehingga Roh Kudus mendampingi tugasku.”  Dan ia  meminta kepada umat, “Pregate per me!” (berdoalah untuk saya!).

Pada akhir Misa, Paus memberikan Berkat Apostoliknya dan diiringi dengan lagu Salam ya Ratu (Salve Regina) Paus pergi berdoa di hadapan patung Bunda Maria di sebelah kanan Altar.

14 March 2013

Umat Mandarin Jakarta Berbagi bersama dengan para Lansia Panti Melania Bintaro, Jakarta

Pagi itu, 3 Maret 2013 umat Katolik berbahasa Mandarin Kapel St Yoseph Dwi Warna Keuskupan Agung Jakarta tampak ramai dan sibuk. Setelah misa pagi selesai, umat tampak tergesa-gesa menuju mobil –mobil yang telah disediakan. Ada apa gerangan ? rupanya pagi itu, setelah misa usai, umat akan mengadakan kunjungan ke panti jompo Melania yang terletak di daerah tanah kusir, Bintaro Jakarta. Panti jompo Melania dikelola oleh sebuah yayasan awam dengan nafas katolik. Sebenarnya, pertama kali didirikan, panti ini dikelola oleh para suster namun dalam perkembangan, usia para suster yang semakin lanjut dan tidak adanya suster pengganti membuat panti ini akhirnya dikelola oleh awam. Panti Melania berdiri tahun 1980 dibawah naungan yayasan Katholik St. Melania yang berpusat di Rawasari. Melania mempunyai misi: ” Melayani para lansia yang membutuhkan bimbingan, perhatian dan kekeluargaan dalam kebersamaan ”. Saat ini jumlah penghuni panti sebanyak 46 lansia ( 39 oma dan 7 opa ) yang berusia antara 64 sampai 94 tahun dengan syarat tidak mempunyai suami atau istri. Pagi itu, 3 Maret 2013 umat Katolik berbahasa Mandarin Kapel St Yoseph Dwi Warna Keuskupan Agung Jakarta tampak ramai dan sibuk. Setelah misa pagi selesai, umat tampak tergesa-gesa menuju mobil –mobil yang telah disediakan. Ada apa gerangan ? rupanya pagi itu, setelah misa usai, umat akan mengadakan kunjungan ke panti jompo Melania yang terletak di daerah tanah kusir, Bintaro Jakarta. Panti jompo Melania dikelola oleh sebuah yayasan awam dengan nafas katolik. Sebenarnya, pertama kali didirikan, panti ini dikelola oleh para suster namun dalam perkembangan, usia para suster yang semakin lanjut dan tidak adanya suster pengganti membuat panti ini akhirnya dikelola oleh awam. Panti Melania berdiri tahun 1980 dibawah naungan yayasan Katholik St. Melania yang berpusat di Rawasari. Melania mempunyai misi: ” Melayani para lansia yang membutuhkan bimbingan, perhatian dan kekeluargaan dalam kebersamaan ”. Saat ini jumlah penghuni panti sebanyak 46 lansia ( 39 oma dan 7 opa ) yang berusia antara 64 sampai 94 tahun dengan syarat tidak mempunyai suami atau istri. Kunjungan Umat katolik berbahasa mandarin KAJ menjadi momen yang berharga bagi kedua belah pihak. Umat mandarin membawa makanan, minuman dan buah buahan untuk makan siang bersama dengan para opa dan oma. Selain itu, umat juga membawa bingkisan indomie, susu bubuk, mentega, dll untuk keperluan panti. Tak lupa juga, pengurus gereja Mandarin Kapel Dwi warna dan umat yang hadir spontan menyumbangkan uang kepada panti ini. Berbagi dengan saudara-saudari yang membutuhkan terasa menyejukkan dan membahagiakan semua pihak. Dalam kunjungan kali ini, Umat mandarin yang hadir berjumlah sekitar 60 orang dan didampingi oleh Fr Ignas Huang CDD. Dalam sambutannya, Frater Ignas menekankan pentingnya kepekaan dalam hidup bersama terutama antara mereka yang memiliki kelebihan dan mereka yang kurang beruntung. Kegiatan semacam ini akan membuat kita semakin merasakan kebaikan dan cinta Tuhan kepada kita dan juga kepada mereka yang membutuhkan bantuan baik secara materi maupun spiritual. Dalam kesempatan ini, umat dan para opa oma sempat bernyanyi bersama dan suasanapun semakin ramai dan penuh kegembiraan. Akhirnya waktu jua yang memisahkan kita semua. Ketika hari mulai beranjak siang, umat mandarinpun pamit dan segera kembali ke tempat masing masing. Semoga kunjungan ini semakin menumbuhkan iman dan harapan kita akan kasih dan kebesaran Tuhan. salam dan doa Ignas Huang CDD