Pagi ini ada berita duka: kecelakaan pesawat lagi. Kali ini Garuda yang mengalami kecelakaan, jatuh di sawah dekat bandara Yogyakarta sewaktu mau mendarat karena angin. Dirut Garuda mengatakan yang pasti 21 orang meninggal. Wah, Indonesia sejak awal tahun dilanda pelbagai bencana. 1 Januari bencana kecelakaan Adam Air yang tidak ditemukan sampai sekarang, tenggelamnya kapal Levina I, lumpur Lapindo yang tak dapat ditangani, angin puting beliung di Yogya, banjir di Jakarta, longsor di Flores, dan terakhir gempa 5,8 Richter di Sumatera Barat.
Sewaktu di Sutomo pagi ini, tiba-tiba saya bertanya-tanya, apa yang bisa kita perbuat. Kerap kali berita bencana ini dan itu datang bertubi-tubi, kita mendengarnya dan ... ya cuma itu. Berita tinggal berita, dan kita hidup seperti biasanya sehari-hari. Apalagi kita merasa tidak ada hubungannya dengan bencana tersebut, entah karena jarak terjadinya yang jauh, atau juga karena tidak ada anggota keluarga yang menjadi korban. Saya berpikir alangkah baiknya kalau kita juga berusaha berbuat sesuatu. Maka tadi saya mengusulkan kepada kepala sekolah bagaimana kita sebagai seorang kristiani harus menyikapi hal-hal seperti ini.
Muncullah ide ini. Murid-murid Kolese St. Yusup mayoritas adalah chinese born. Maka mereka juga perlu diajari agar mempunyai empati terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, agar mereka tidak hidup di dunianya sendiri. Maka apakah ada kemungkinan kepala sekolah mencoba mengumpulkan seluruh siswa dan guru untuk mengadakan gerakan doa bersama untuk bangsa dan negara. Gerakan ini hendaknya diadakan secara rutin, entah seminggu sekali, entah sebulan sekali, dan bersifat ekumenis. Saya teringat akan Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II yang mengumpulkan para pemimpin agama seluruh dunia untuk berdoa di Asisi. Untuk pihak sekolah, hendaknya tidak membuat suatu acara yang bertele-tele. Cukuplah misalnya, seperti Sutomo yang pulang lebih awal setiap Rabu, Jumat dan Sabtu, dengan memilih salah satu hari itu. Katakanlah gerakan doa bersama ini diadakan seminggu sekali. Maka pada hari Rabu para murid dan guru berkumpul bersama di aula sesudah pulang, lalu diadakan puji-pujian, kemudian doa secara katolik, disertai dengan bacaan dari Kitab Suci (tidak usah ayat yang panjang-panjang), hening sejenak, dan kemudian ditutup dengan doa secara Katolik (teks doa sudah disusun). Setelah itu dilanjutkan dengan doa dari masing-masing agama siswa.
Apakah ide ini dapat terlaksana? Semua tergantu kepada pimpinannya, entah itu kepala sekolah, terutama tentu saja para imam CDD yang bekerja di Yayasan. Kita harus mempunyai kepekaan dan belajar untuk mengembangkan empati kepada mereka yang menderita kemalangan. Semoga ide ini mendapat tanggapan yang positif.
Sewaktu di Sutomo pagi ini, tiba-tiba saya bertanya-tanya, apa yang bisa kita perbuat. Kerap kali berita bencana ini dan itu datang bertubi-tubi, kita mendengarnya dan ... ya cuma itu. Berita tinggal berita, dan kita hidup seperti biasanya sehari-hari. Apalagi kita merasa tidak ada hubungannya dengan bencana tersebut, entah karena jarak terjadinya yang jauh, atau juga karena tidak ada anggota keluarga yang menjadi korban. Saya berpikir alangkah baiknya kalau kita juga berusaha berbuat sesuatu. Maka tadi saya mengusulkan kepada kepala sekolah bagaimana kita sebagai seorang kristiani harus menyikapi hal-hal seperti ini.
Muncullah ide ini. Murid-murid Kolese St. Yusup mayoritas adalah chinese born. Maka mereka juga perlu diajari agar mempunyai empati terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, agar mereka tidak hidup di dunianya sendiri. Maka apakah ada kemungkinan kepala sekolah mencoba mengumpulkan seluruh siswa dan guru untuk mengadakan gerakan doa bersama untuk bangsa dan negara. Gerakan ini hendaknya diadakan secara rutin, entah seminggu sekali, entah sebulan sekali, dan bersifat ekumenis. Saya teringat akan Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II yang mengumpulkan para pemimpin agama seluruh dunia untuk berdoa di Asisi. Untuk pihak sekolah, hendaknya tidak membuat suatu acara yang bertele-tele. Cukuplah misalnya, seperti Sutomo yang pulang lebih awal setiap Rabu, Jumat dan Sabtu, dengan memilih salah satu hari itu. Katakanlah gerakan doa bersama ini diadakan seminggu sekali. Maka pada hari Rabu para murid dan guru berkumpul bersama di aula sesudah pulang, lalu diadakan puji-pujian, kemudian doa secara katolik, disertai dengan bacaan dari Kitab Suci (tidak usah ayat yang panjang-panjang), hening sejenak, dan kemudian ditutup dengan doa secara Katolik (teks doa sudah disusun). Setelah itu dilanjutkan dengan doa dari masing-masing agama siswa.
Apakah ide ini dapat terlaksana? Semua tergantu kepada pimpinannya, entah itu kepala sekolah, terutama tentu saja para imam CDD yang bekerja di Yayasan. Kita harus mempunyai kepekaan dan belajar untuk mengembangkan empati kepada mereka yang menderita kemalangan. Semoga ide ini mendapat tanggapan yang positif.