Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

30 July 2010

Memoria = Identitas Diri

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Banyak yang mulai terlupakan. Penemuan teknologi ternyata sangat banyak membantu manusia untuk mengingat kembali. Apakah perlunya ingatan itu? Kalau dilihat secara sepintas, memang ingatan itu hanyalah suatu kenangan dari pengalaman-pengalaman masa lampau. Namun ada perbedaan besar antara kenangan (nostalgia) dan ingatan (memoria). Nostalgia memang membawa kembali manusia untuk melihat yang indah dari masa lalu, melihat kembali perjalanan hidupnya. Dan kenangan itu akan memberikan semacam semangat dan motivasi baru. Sementara memoria selain membawa orang kepada masa lalu dan bernostalgia juga membawa orang kepada suatu resolusi baru: apa yang bisa saya pakai dari pengalaman masa lalu itu untuk bertahan di masa ini dan mencapai yang lebih baik lagi di masa depan.

Dalam hidup, orang harus memiliki strategi agar dapat survive. Salah satu strategi adalah memaknai peristiwa atau pengalaman masa lampau, bukan memuaskan kerinduan atau nostalgia, tetapi untuk situasi saat ini, sekaligus utk merancang masa depan. Hasil utama dari survival adalah identitas diri.

Misalnya: bangsa Israel yang di mesir selama 450thn. Mereka memaknai pengalaman pahit perbudakan itu, maka muncul kesadaran di saat itu bahwa mereka tidak boleh tunduk pada, harus mengubah nasib. Maka muncullah peristiwa exodus. Setelah itu mereka pun ingin menjadi bangsa yg kuat, muncullah Saul, Daud, Salomo. Kemudian, sewaktu mereka dicerai beraikan, mengalami krisis sebagai bangsa, direndahkan sebagai bangsa buangan, mereka tidak tunduk pada nasib; mereka ingin bangkit lagi. Para nabi diutus untuk mengingatkan bahwa mereka adalah bangsa pilihat, umat Allah sendiri. Sepuluh suku yang tinggal di kerajaan Utara, karena melupakan hal yang paling pokok dalam kehidupan mereka, dan mulai kawin campur dengan suku-suku lain, mulai meninggalkan Allah, maka kesepuluh suku tersebut hilang. Sementara itu suku Yehuda yang berada di Selatan selalu menyegarkan memoria mereka akan panggilan Allah kepada mereka, akan status mereka sebagai bangsa terpilih, mereka mampu bertahan menghadapi segala tekanan. Memoria mereka menjadi pegangan dalam menampilkan jati diri mereka; memoria ini menjadikan mereka tidak hilang diterjang segala macam bahaya yang mengancam eksistensi mereka. Bahkan mereka dapat menyebarkan memoria mereka kepada banyak bangsa di dunia. Dan tentu saja, inilah yang membuat mereka tetap eksis sampai hari ini.

Begitu juga dengan bangsa China, yang senantiasa preserve memory mereka. Mereka bangga akan sejarah mereka yang panjang. Melalui sejarah yang panjang ini, mereka belajar banyak dari kesalahan, bisa mengembangkan diri melalui pengalaman yang baik dan ajaran-ajaran para bijak, maka tidak heran mereka bisa menjadi bangsa yang besar dan kuat. Bahkan mereka bisa bertahan dan bangga bila makan menggunakan sumpit, meskipun banyak orang sudah biasa menggunakan pisau, sendok dan garpu.

Pada saat orang berada pada titik terendah hidupnya, apabila dia melupakan memory-nya, maka dia akan berhenti dari eksistensinya. Dia akan punah dengan sendiri karena kehilangan identitas. Tidak ada alasan baginya untuk bertahan hidup, dan kehilangan makna eksistensinya.

Banyak ordo dan kongregasi besar menjadi besar bukan karena jumlah anggotanya banyak, namun karena mereka memiliki memoria akan sejarah eksistensinya, menggalinya dan senantiasa menyegarkannya. Merayakan pendiri mereka, memperingati tokoh-tokoh pembaharu dalam tarekatnya merupakan suatu upaya yang utama dalam menyegarkan memoria tarekat tersebut. Selain itu senantiasa memaknai peristiwa saat itu dan ini (teristimewa pengalaman buruk) akan membuat mereka semakin sadar dan menghargai eksistensinya, serta membuat mereka tetap survive. Memoria inilah yang menjadi jati diri tarekat tersebut, yang membuatnya memiliki kekhasan dan berbeda, lain dari yang lain.

Inilah memoria dari CDD di Batu pada tahun 1983 (dari kiri ke kanan, bawah ke atas): P. Hilarius Sutiono, P. Willy Malim Batuah, P. Ma, P. John Chai, P. Andreas Ly, P. Joseph Wang, Inno Merep, Sipeng, Sabinus Merayang Ain, Ipik, Sunni S., P. Yandhie Buntoro, P. Johan Lianto, Br. Joseph Tumijo.