14 Desember 2007 - 11:03
Spe Salvi: Tentang Harapan
Memasuki masa Adven, tepatnya tanggal 30 November 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan Ensiklik keduanya. Ensiklik itu berjudul, Spe Salvi. Ensiklik tersebut menegaskan kembali pentingnya kebutuhan akan harapan dalam masyarakat modern dan pentingnya umat Kristiani memulihkan arti harapan yang sebenarnya.
Paus memulai ensiklik 75 halamannya dengan menjelaskan bahwa “rahmat, sekalipun itu tidak mudah, dapat dihayati dan diterima jika tertuju kepada suatu tujuan dan jika tujuan itu diyakini benar dalam pencapaiannya”. Spe Salvi merupakan harta karun yang amat kaya dalam pembelajaran Paus, dengan referensi kehidupan para kudus dan Bapa Gereja. Ensiklik tersebut mengulas kebijaksanaan dan keutamaan harapan. Bapa Suci mengatakan, ”Pintu serba gelap tentang waktu, tentang masa depan, telah terbuka. Seseorang yang memiliki harapan akan hidup dengan cara yang berbeda. Seseorang yang memiliki harapan dianugerahi hadiah hidup baru.”
Tentu saja, hal ini memunculkan pertanyaan, apa itu harapan? Paus menulis bahwa untuk mengenal Tuhan, Tuhan yang benar, berarti menerima harapan. Namun harapan kristiani berbeda. Mengacu pada Kitab Suci Perjanjian Baru, Paus menulis, Kekristenan tidak membawa pesan revolusi sosial seperti yang telah membawa sial bagi Spartacus, yang berjuang hingga mengakibatkan pertumpahan darah. Yesus bukanlah Spartacus, Dia tidak mengadakan pertempuran demi pembebasan politis. "Yesus… membawa sesuatu samasekali berbeda, ialah suatu persekutuan dengan Tuhan segala raja, suatu persekutuan dengan Tuhan yang hidup dan yang berkombinasi dengan harapan yang lebih kuat daripada penderitaan para budak. Suatu harapan yang karenanya mengubah hidup dan dunia dari dalam," demikian penjelasannya. "Hal ini jelas bukan menunjuk pada suatu roh dasar alam semesta, yang memerintah umat manusia dan dunia, melainkan Tuhan. Dialah yang menguasai alam semesta. Bukan zat dan evolusi yang menentukan segalanya, tetapi akal budi, kehendak, cinta Allah"
Gagasan Kekristenan semacam itu mempengaruhi dunia, karena, “kuasa dahsyat unsur-unsur material yang tak dapat diubah, tidak lagi berkuasa. Karena manusia bukanlah budak dari alam semesta dan hukum-hukumnya. Manusia justru memiliki kehendak bebas." Umat Kristiani memiliki harapan hanya karena Yesus yang "mewartakan siapakah sebenarnya manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia agar sungguh-sungguh menjadi manusia bagi sesama”.
Sebagaimana ditulis dalam Kitab Ibrani 11:1, Bapa Suci menunjukkan pengaruh positif iman. "Iman bukanlah melulu suatu upaya menusia mencari sesuatu yang di luar dirinya dan sesuatu yang samasekali tidak jelas. Iman, pada saat ini pun, justru memberi kita sesuatu yang nyata, yang selama ini kita cari. Iman itu pula yang memberi sebuah “bukti” tentang berbagai hal-hal yang masih tidak terlihat. "Iman," tulis Paus, "memberi basis baru dalam kehidupan. Ialah suatu pondasi baru yang di atasnya kita dapat berdiri, sesuatu yang merelatifkan hal-hal material yang selama ini jadi andalan.
Kehidupan Kekal
Ensiklik Paus tersebut bukan sesuatu yang abstrak. Paus memfokuskan pembahasan tentang kehidupan Kristiani modern. Paus mengajukan beberapa pertanyaan penting: Bagaimana kita menghidupi iman Kristiani dalam kehidupan? Apakah itu hidup yang berubah dan hidup yang memelihara harapan?” Bahkan yang lebih penting, ”Apakah kita sungguh-sungguh menginginkan hidup kekal?”
"Barangkali, saat ini banyak orang yang menolak iman hanya karena tidak melihat dan menemukan prospek yang menarik tentang kehidupan kekal,” demikian dugaan Paus, ”Memang yang dibutuhkan manusia tidak hanya hidup kekal, tetapi hidup saat ini, sehingga gagasan hidup kekal dipandang sebagai suatu yang sulit. Karena itu, untuk melanjutkan kehidupan selamanya, sampai akhir, gagasan hidup kekal lalu dipandang sebagai kutuk daripada berkat”
Konsekuensinya, ”ada pertentangan dalam sikap kita, yang menunjuk ke suatu pertentangan eksistensial mendalam dalam kehidupan manusia. Di satu sisi, kita tidak ingin mati; demikian pula mereka yang mencintai kita, tidak ingin kita mati. Namun di sisi lain, kita ingin melanjutkan hidup dengan tanpa terbatas. Apakah memang dunia diciptakan seperti itu, lalu apa yang sebenarnya kita inginkan?"
Untuk menjawab pertanyaan mendalam seperti ini, Spe Salvi mengacu pada pendapat St. Agustinus, yang mengatakan bahwa, "akhirnya yang sungguh-sungguh kita inginkan hanya satu hal, “hidup yang terberkati, hidup yang sederhana, ialah ' kebahagiaan."
Iman Dan Harapan Jaman Modern
Bapa Suci memulai uraiannya tentang pemahaman Kristiani modern tentang harapan dengan bertanya, apakah harapan umat Kristiani bersifat individual? Dengan kata lain, apakah keselamatan seseorang tergantung hanya pada kehidupan pribadi seseorang, atau tergantung pada pelayanannya kepada sesama? Berkaitan dengan pertanyaan tentang sifat personal keselamatan, Sri Paus bertanya, "Bagaimana kita sampai pada penafsiran semacam ini tentang keselamatan jiwa dan bagaimana cara kita memahami bahwa gagasan Kristen sebagai suatu pencarian egois demi keselamatan yang menolak gagasan melayani sesama?”. "Visi yang terencana telah disempitkan di masa modern dan mengakibatkan krisis iman masa kini yang juga dapat disebut sebagai kisis harapan Kristiani,” kata Paus.
Dalam perkembangan dari tahun ke tahun, ideologi kemajuan menganggap bahwa bahwa kebahagiaan terletak pada hal yang bisa dilihat, sesuai potensi yang ada dalam diri manusia yaitu suatu konfirmasi iman, sebagaimana yang berlangsung saat ini,” Pada saat yang sama, dua kategori semakin popular sebagai ukuran kemajuan, ialah akal budi dan kehendak bebas. Hasil pemikiran ini ialah, “kemajuan selalu terkait dengan perkembangan dominant akal budi, dan akal budi dianggap sebagai suatu kekuatan yang baik dan suatu kekuatan untuk kebaikan.”
”Kemajuan dengan demikian adalah kesalingtergantungan, ialah kemajuan menuju kebebasan yang sempurna." Sehingga, "dua konsep utama, akal budi dan kehendak bebas secara diam-diam telah ditafsirkan secara bertentangan dengan iman dan Gereja," kata Paus. Harus diakui, perkembangan ilmu pengetahuan modern telah mengurung iman dan harapan personal. Namun justru karena itu, semakin kelihatan bahwa dunia dan manusia jaman ini memerlukan Tuhan, ialah Tuhan yang benar. Ilmu pengetahuan memang mendukung kehidupan manusia, tetapi tidak mampu menembus sisi terdalam kehidupan manusia.
Tepatlah jika, manusia ditebus hanya oleh kasih. Kasih itulah yang membingkai hidup sosial sebagai baik dan indah, dilengkapi sebuah harapan yang besar, pasti, penuh, dijamin Allah dan demi Allah yang adalah kasih. Allah itulah yang rela merendahkan diri dalam sosok Yesus, yang memberikan hidupNya demi keselamatan manusia dan di dalam Yesus pula manusia akan kembali pada akhir jaman. Hanya dalam Yesus kita menaruh harapan dan hanya dalam Dia kita menantikan kepenuhan harapan. Bersama Bunda Maria, BundaNya, Gereja menyongsong Sang Pengantin. Karena Yesus lebih dulu melakukan itu semua dengan penuh kasih, harapan dan iman yang ditunjukkan dalam kasih nyata. Sebuah kehadiranNya yang berdaya guna demi keselamatan manusia.
Implikasi Politis
Sebagaimana kita ketahui, gagasan baru tentang kemajuan telah mengakibatkan perubahan bersejarah. "Spe Salvi" menunjuk "dua langkah-langkah penting dalam perwujudan politis tentang harapan. Karena, kedua akal budi dan kehendak bebas, sangat penting dalam pengembangan harapan Kristiani.
Perkembangan yang pertama ialah “Revolusi Perancis - suatu usaha untuk penerapan akal budi dan kehendak bebas sebagai kenyataan politis." Sepanjang abad kedelapanbelas, masyarakat “mempertahankan imannya dalam perkembangan jaman sebagai bentuk baru harapan manusia”. "Meskipun demikian," Puas mengisahkan, "perkembangan teknis dan industrialisasi yang sangat cepat mengakibatkan munculnya situasi sosial baru yang cepat pula: muncul kelas pekerja industri tertindas, yang disebut “kaum buruh industri”.
"Setelah revolusi kaum kaya pada tahun 1789 itu, tibalah giliran munculnya suatu revolusi baru, ialah revolusi kaum buruh"… "Karl Marx menggagas rapat umum dan mempromosikan pemikiran dan analisanya yang tajam untuk membentuk kelompok mayoritas baru ini. Gagasannya tentang sejarah, jelas-jela demi keselamatan manusia. Janjinya, analisanya dan pemikirannya yang jernih tentang perubahan radikal, masih menjadi daya tarik yang belum punah”
Paus menyimpulkan "namun dalam gagasan Marx tentang kemenangan revolusi, justru kesalahan pokok Marx menjadi semakin jelas. Ia lupa bahwa manusia tetaplah manusia. Ia menafsirkan secara salah mengenai manusia dan kebebasan manusia. Ia lupa bahwa kebebasan selalu berpeluang menjadi kebebasan negatif yang sangat liar. Marx berpikir jika suatu saat sistem ekonomi diatur dengan rapi, segalanya akan secara otomatis teratur dengan rapi. Padahal tidak demikian. Kesalahan Marx yang terutama ialah gagasan tentang materialisme: manusia tidak melulu hasil kondisi-kondisi ekonomi dan tidaklah mungkin menebus manusia tanpa menciptakan suatu lingkungan ekonomi baik."
Mungkin Meskipun Sulit
Keutamaan teologal tentang harapan terarah kepada keselamatan dan visi kebahagiaan. Semua itu hanya dapat diperoleh seseorang hanya karena rahmat Tuhan. Hal ini dikatakan profesor filsafat dari
Ia mengatakan, "St. Thomas Aquinas, mempunyai beberapa keterangan sangat bagus tentang harapan. Ia menunjuk bahwa hal itu mengacu pada hal-hal yang mempunyai dua unsur: mungkin untuk mencapai, tetapi sulit. Jika sesuatu mustahil untuk dicapai, tentu kita tidak mengharapkan itu. Kita mungkin ingin bisa menjangkaunya, tetapi keinginan itu tipis akan berhasil. Tetapi kemudian pasrah.
Kita mengetahui bahwa kita tidak bisa mencapai kebaikan yang baik semacam itu."Sebaliknya, jika sesuatu itu mungkin dan mudah untuk dicapai, maka kita tidak mengharapkannya. Kita akan berlalu begitu saja dan melakukan begitu saja. Aku tidak berharap bahwa aku akan makan siang hari ini, kecuali jika aku dalam situasi sangat putus-asa, atau aku baru saja makan siang,” demikian ia mencontohkan.
Peran Iman
Pada jaman ini, pemahaman keutamaan teologal tentang harapan diarahkan pada visi kebahagiaan dan keselamatan manusia. Iman merupakan keutamaan teologal yang menyingkapkan kemungkinan itu kepada kita. .Iman mewahyukan kebenaran bahwa Tuhan telah menebus manusia dalam kematian dan kebangkitan Yesus. Iman membuat segala sesuatu mungkin dan dapat dimengerti sehingga kita sebaiknya hidup bersatu dalam Tritunggal Mahakudus. ”Kita bersatu dalam keputraan Yesus. Iman Gereja menunjukkan kepada kita bahwa tujuan akhir kita tidak hanya di dunia ini dan dalam komunitas manusia, tetapi persatuan di surga dalam kehidupan Illahi. Sehingga hidup ini menjadi serba mungkin. Namun, hal itu tidak mudah."
Sesungguhnya, tidak hanya sulit tetapi mustahil bagi kita, jika manusia mengandalkan kemampuan diri sendiri. Keselamatan manusia hanya karena karya Tuhan saja. Kita menyebutnya sebagai rahmat Tuhan semata. Karena itu, kita seharusnya tidak berharap di dalam diri kita sendiri, tetapi berharap di dalam Tuhan. Meskipun keselamatan itu karya dan rahmat Tuhan semata, namun berkatNya boleh kita alami.
Iman, Bukan Optimisme
"Keutamaan teologal tentang harapan berbeda dengan optimisme. Karena optimisme sifatnya duniawi. Layaknya sikap, di mana kita mengharapkan 'berbagai hal akan terjadi. Tentu hal ini bukan disposisi yang buruk, meskipun tidak realistis. Namun, hal-hal seperti itu merupakan suatu harapan duniawi, dalam kodrat manusia. Kita cenderung berpikir bahwa jika orang-orang melakukan kebebasan, akan tercipta kebaikan bersama. Inilah manfaat yang baik tentang harapan di balik gagasan demokrasi atau republik. Keduanya tampaknya tipe yang baik dalam urusan manusia, karena semakin banyak orang menyumbangkan talenta demi kebaikan bersama. Namun, "Teologi harapan meyakinkan tidak dalam konteks kodrat manusia, tetapi dalam relasi dengan Tuhan. Bukan pertama-tama dalam hubungan dengan manusia, tetapi dalam hubungan dengan keselamatan kekal”.
Dengan demikian, harapan kebaikan bersama menuntut syarat adanya keutamaan imanen, ialah menerima kebenaran-kebenaran Illahi, yang mewahyukan kepada kita dimensi yang sangat mungkin dari harapan. Karena, harapan pada gilirannya menggerakkan seseorang kepada cinta kasih, di mana manusia menanggapi kasih Tuhan. Manusia membalas mengasihiNya dan mengamalkan kasih kepada sesama. Itu semua hanya terjadi karena rahmat Tuhan semata. (A. Luluk Widyawan, Pr dari berbagai sumber)