Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

09 March 2011

Pesan Prapaskah 2011 Paus Benedictus XVI

“karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati” (Bdk. Kol 2: 12)

Saudara-saudari yang terkasih,
Masa prapaska membimbing kita pada perayaan Paska. Bagi Gereja merupakan waktu yang sangat berharga dan penting di dalam liturgi dimana dalam pandangan saya, saya menawarkan sebuah kata agar selama masa Prapaska ini, kita tinggal di dalam “ketekunan”. Seperti Gereja menantikan pertemuan yang pasti dengan mempelainya di dalam paska abadi, demikian pula komunitas Gereja bertekun di dalam doa dan karya-karya cinta kasih, memurnikan semangat, sehingga mengambil lebih banyak lagi misteri penebusan Kristus dan hidup baru di dalam Kristus Tuhan (Bdk. Prefasi I prapaska).

1. Kehidupan ini telah diberikan kepada kita pada waktu pembaptisan, ketika kita “turut serta di dalam kematian dan kebangkitan Kristus”, dan memulai “petualangan kegembiraan serta sukacita menjadi murid-Nya.” (Bdk. Homili pada pesta pembaptisan Tuhan, 10 Januari 2010). Di dalam surat ini, St. Paulus berulangkali mengulangi persatuan dengan Putera Allah yang telah membawa pembersihan. Kenyataan bahwa dalam banyak kasus, Baptis diterimakan pada saat bayi / kanak-kanak merupakan pemberian / karunia dari Allah sendiri: tidak seorangpun dapat memperoleh hidup kekal dari usahanya sendiri. Belas kasih Allah, yang menghapuskan dosa dan pada waktu yang sama, mengizinkan kita untuk mengalami “pikiran dan perasaan seperti yang terdapat juga dalam Yesus Kristus” (bdk. Flp 2:5) di dalam kehidupan kita, telah diberikan kepada setiap manusia secara bebas. Rasul bangsa kafir ini dalam suratnya kepada orang-orang di Filipi, mengungkapkan makna pertobatan yakni menempatkan diri untuk turut serta di dalam kematian dan kebangkitan Kristus; menunjukkan tujuannya: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.” (Flp 3: 10-11). Disini, Baptis tidak hanya sekedar sebuah ritus dari masa lampau, tetapi perjumpaan dengan Kristus, yang memberitahukan seluruh kenyataan pembaptisan, memberikan hidup ilahi dan memanggil para pendosa pada pertobatan; dimulai dan didukung dengan rahmat, mengizinkan pembaptisan untuk mencapai kedewasaan iman dalam Kristus.

Sebuah hubungan dan ikatan yang erat antara Baptis dan Prapaska yakni mengalami rahmat penyelamatan. Para Bapa Konsili Vatikan II menganjurkan kepada seluruh pastor untuk memberikan katekese tentang pentingnya pembaptisan di dalam liturgi prapaska (SC no. 109). Kenyataannya, Gereja senantiasa menyatukan perayaan Malam Paska dengan baptisan: sakramen ini menyatakan misteri agung dimana manusia mati terhadap dosa, hidup baru berkat kebangkitan Kristus dan menerima Roh Allah yang telah membangkitkan Yesus dari kematian (Bdk. Rm 8:11). Pemberian cuma-cuma ini haruslah senantiasa dinyalakan di dalam diri kita, dan masa Prapaska memberikan kepada kita sebuah jalan seperti masa katekumenat, yang mana bagi orang Kristen pada masa gereja awali menjadikan masa ini sebagai sekolah iman dan sekolah kehidupan kristiani yang tak tergantikan. Sungguh, mereka menghidupi baptisan mereka. Sebuah tindakan yang memberikan bentuk terhadap seluruh keberadaan mereka.

2. Supaya perjalanan dan persiapan kita menuju Paska untuk merayakan kebangkitan Tuhan – yang adalah puncak perayaan dalam seluruh tahun liturgi Gereja - berjalan secara lebih serius, apa yang harus kita lakukan agar kita dibimbing oleh Sabda Allah? Untuk alasan ini, Gereja dalam bacaan-bacan Injil minggu Prapaska, membawa kita untuk bertemu dengan Allah, merefleksikan kembali perjalanan hidup kita sebagai orang Kristen: bagi para katekumen: adalah mempersiapkan diri untuk menerima sakramen kelahiran baru, untuk dibaptis, dalam terang langkah yang baru dan pasti yang akan diambil untuk mengikuti Kristus terlebih sebagai pemberian diri secara utuh kepada-Nya.

Perjalanan minggu pertama Prapaska memberikan gambaran kepada kita tentang keadaan manusia di bumi ini. Kemenangan melawan pencobaan menjadi permulaan dari misi Yesus, yang sekaligus merupakan sebuah undangan untuk menyadari kelemahan kita supaya menerima rahmat yang membebaskan kita dari dosa dan memperoleh kekuatan baru di dalam Kristus – Sang jalan, kebenaran dan kehidupan (Bdk. Ordo Initiationis Christianae Adultorum, n. 25). Ini adalah sebuah kekuatan yang mengingatkan kita terhadap arti iman Kristiani yakni mengikuti teladan Yesus dan di dalam persatuan dengan Dia, sebuah pertempuran “melawan kekuatan penguasa kegelapan di dunia ini” (Ef 6:12) dimana setan bekerja dan tidak pernah berhenti – bahkan sampai saat ini – untuk mencobai siapapun juga yang berharap dekat dengan Tuhan: Kristus memberikan kemenangan untuk membuka hati kita, untuk berharap dan membimbing kita dalam mengatasi cobaan-cobaan setan.

Peristiwa transfigurasi Allah membuka mata kita tentang kemuliaan Kristus, yang mengantisipasi kebangkitan serta pewartaan tentang keilahian manusia. Komunitas Kristiani menyadari bahwa Kristus memimpin mereka, seperti para rasul: Petrus, Yakobus dan Yohanes “yang naik ke sebuah gunung yang tinggi. Disitu mereka sendiri saja” (Mat 17:1), untuk menerima sekali lagi di dalam Kristus, sebagai anak-anak dari Putera Allah, mendapat karunia rahmat Allah: “Inilah puteraKu yang terkasih, kepadaNya aku berkenan. Dengarkanlah Dia” (Mat17:5). Hal ini merupakan undangan bagi kita untuk mengambil jarak dari rutinitas hidup setiap hari supaya membenamkan diri di hadapan Allah. Allah mengulurkan tangan-Nya setiap hari, sebuah Sabda yang menembus kedalaman jiwa kita, sehingga kita mampu membedakan kebaikan dan kejahatan (Ibr 4:12), memperteguh harapan kita untuk mengikuti Allah.
Permintaan Yesus kepada perempuan Samaria: “Berilah Aku minum” (Yoh 4:7), ditampilkan bagi kita di dalam liturgi hari minggu ketiga Prapaska; Hal ini menunjukkan hasrat / keinginan Allah terhadap setiap manusia dan harapan untuk membangkitkan di dalam diri kita hasrat untuk mendapatkan “sumber mata air yang memberikan kehidupan kekal” (Yoh 4:14): yakni pemberian Roh Kudus, yang mengubah orang-orang Kristen ke dalam “penyembahan yang benar”, memampukan untuk berdoa kepada Bapa “di dalam Roh dan kebenaran” (Yoh 4:23). Hanya air inilah yang dapat melegakan kehausan kita akan kebaikan, kebenaran dan keindahan! Hanya air inilah yang diberikan oleh Putera Allah, yang dapat menyegarkan kegelisahan dan ketidakpuasan jiwa kita, sampai kita “beristirahat di dalam Allah” seperti yang dikatakan St. Agustinus.

Bacaan minggu Prapaska keempat berkisah tentang “orang yang terlahir buta datang kepada Kristus” memperlihatkan kepada kita, Kristus sebagai terang dunia. Injil menantang kita dengan pertanyaan: “Percayakah engkau kepada Putera manusia? Tuhan, aku percaya!” (Yoh 9:35.38), orang yang terlahir buta tersebut berseru kegirangan, mewartakan kepada semua orang perihal yang dibuat Kristus kepada dirinya. Mukjizat penyembuhan ini adalah sebuah tanda bahwa Kristus menghendaki kita agar tidak hanya melihat tanda-tanda lahiriah tetapi membuka penglihatan kita secara lebih dalam, sehingga iman kita menjadi lebih mendalam dan kita menyadari bahwa Dia adalah satu-satunya penyelamat kita. Dia menerangi seluruh kegelapan hidup dan membimbing seluruh umat manusia untuk hidup sebagai “anak-anak terang.”
Pada minggu kelima Prapaska, ketika kebangkitan lazarus diwartakan, kita dihadapkan pada puncak misteri keberadaan kita: “Aku adalah kebangkitan dan hidup … Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh 11:25-26). Bagi komunitas Kristiani, hal ini merupakan sebuah peristiwa untuk mendalami –bersama Marta - seluruh harapan akan Yesus dari Nazaret: “Ya, Tuhan, Aku percaya bahwa Engkaulah Kristus, Putera Allah, Dia yang akan datang ke dunia” (Yoh 11:27). Persatuan dengan Kristus dalam kehidupan ini, menyiapkan kita akan kematian kita, sehingga kita memperoleh hidup yang kekal bersama Dia. Iman akan kebangkitan dan harapan akan hidup yang kekal membuka mata kita untuk mencapai puncak pengertian akan keberadaan kita: Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk kebangkitan serta memperoleh kehidupan, dan kebenaran ini memberikan makna yang otentik dan pasti akan sejarah hidup manusia terhadap hubungan sosial dan pribadi antara laki-laki dan perempuan, terhadap kebudayaan, politik dan ekonomi. Tanpa terang iman ini, seluruh alam semesta mengakhiri segalanya dalam kehampaan akan masa depan.

Perjalanan masa Prapaska mencapai kepenuhannya pada Trihari suci, terutama pada waktu malam Paska: dengan membaharui janji pembaptisan, kita meneguhkan kembali bahwa Kristus adalah Tuhan di dalam hidup kita, hidup dimana Allah sendiri yang telah memberikannya kepada kita ketika kita dilahirkan kembali dengan “air dan Roh Kudus”, dan kita meneguhkan komitmen kita untuk menanggapi karya rahmat supaya kita menjadi murid-Nya.

3. Dengan membenamkan diri kita ke dalam kematian dan kebangkitan Kristus melalui sakramen Baptis, kita bergerak untuk membebaskan hati kita setiap hari, dari beban-beban materi, dari keterikatan kita dengan dunia yang memiskinkan kita dan menghalangi kita untuk menerima Tuhan dan sesama. Di dalam Kristus, Tuhan menyatakan diriNya sebagai kasih (Bdk. 1 Yoh 4:7-10). Salib Kristus menunjukkan kepada kita kekuatan Allah (Bdk. 1Kor 1:18), yang diberikan untuk menjadikan manusia menjadi manusia baru dan membawa mereka kepada keselamatan. Ini adalah bentuk cinta yang paling ekstrem (Bdk. Ensiklik Deus Caritas Est no. 12). Melalui tindakan-tindakan asketis yakni puasa, amal dan doa, dimana hal-hal tersebut merupakan bentuk ungkapan pertobatan kita, masa Prapaska mengajarkan kepada kita bagaimana menghidupi kasih Kristus secara lebih radikal. Puasa, dengan berbagai motivasi, memiliki arti religius yang sangat kuat bagi umat Kristiani: dengan memberikan makanan kepada orang miskin, kita belajar mengatasi diri kita supaya hidup di dalam kasih; dengan menanggung beberapa bentuk penderitaan, kita belajar untuk berpaling dari “ego” kita, untuk menemukan Seseorang yang dekat dengan kita (Yesus) dan untuk mengenal wajah Allah di dalam semua saudara saudari kita. Bagi orang-orang Kristiani, puasa merupakan suatu tindakan yang jauh dari tekanan yang dapat membuka diri kita untuk lebih merasakan Allah dan mengizinkan kasih Allah menjadi kasih terhadap sesama kita (Bdk. Mrk 12:31).

Dalam perjalanan kehidupan ini, kita sering dihadapkan pada pencobaan untuk mengumpulkan dan mencintai uang secara lebih yang dapat merusak peran dan kekuasaan Allah di dalam kehidupan kita. Ketamakan untuk memiliki uang membawa kita pada sikap kekerasan, eksploitasi, dan kematian; Untuk itu, Gereja secara khusus selama masa Prapaska, mengingatkan kita untuk melakukan tindakan amal – dimana semangat untuk berbagi dipupuk. Penyembahan terhadap barang-barang, di sisi lain, tidak hanya menghanyutkan kita dari sesama kita tetapi juga menghanyutkan keilahian manusia, membuat manusia tidak bahagia, menipu dirinya sendiri, memperdaya dirinya. Hal ini terjadi sejak barang-barang duniawi menggantikan tempat Allah Sang sumber hidup sejati. Bagaimankah kita dapat memahami kebaikan Allah, jika hati kita dipenuhi dengan egoisme dan dipenuhi pula dengan rencana-rencana diri kita sendiri, menganggap bahwa masa depan kita telah terjamin? Pencobaan terjadi seperti pada perumpamaan tentang orang yang kaya: “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya… Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu…” (Luk 12:19-20). Tindakan amal adalah sebuah peringatan akan kekuasaan Allah dan mengarahkan perhatian kita kepada sesama, sehingga kita menemukan kembali kebaikan Bapa dan menerima belas kasihan-Nya.

Selama masa Prapaska, Gereja memberikan kepada kita sabda Allah yang berkelimpahan. Lewat meditasi dan permenungan serta menghidupinya setiap hari, kita belajar sebuah bentuk doa yang tak tergantikan, dengan mendengarkan suara Allah, yang berbicara kepada hati kita sehingga memberikan kekuatan terhadap perjalanan iman kita yang telah kita terima pada waktu pembaptisan. Doa juga memungkinkan kita untuk mendapat sebuah konsep baru tentang waktu: tanpa pandangan akan kekekalan dan transendensi, maka waktu hanya mengarahkan kita menuju cakrawala tanpa masa depan. Termasuk di dalamnya, ketika kita berdoa kita menemukan waktu untuk Tuhan, untuk memahami bahwa: “sabda-Nya tidak akan berlalu” (Bdk. Mrk 13:31), untuk memasuki ke dalam persatuan yang mesra dengan-Nya “tiada seorangpun yang dapat merampas dari padamu” (Yoh 16:22), untuk membuka harapan kita akan kehidupan kekal tanpa takut akan dikecewakan.

Pada akhirnya, perjalanan Prapaska dimana kita diundang untuk mengkontemplasikan misteri salib, haruslah membuat kita menghasilkan kembali “bentuk kematian-Nya” (Flp 3:10) sehingga pertobatan kita sungguh mendalam; membuat kita berubah oleh karya Roh Kudus seperti yang dialami oleh St. Paulus dalam perjalannya ke Damsyik; membuat kita teguh berjalan di dalam kehendak Allah; membebaskan diri kita dari rasa egoisme; mengatasi keinginan kita untuk menguasai orang lain serta membuka hati kita terhadap cinta Kristus. Masa Prapaska adalah masa yang tepat untuk menyadari serta menerima kelemahan kita lewat refleksi terhadap hidup kita, menerima sakramen tobat serta berjalan menuju Kristus.

Saudara-saudari yang terkasih, melalui perjumpaan pribadi dengan penebus kita serta melalui puasa, tindakan amal serta doa, perjalanan pertobatan kita menuju Paska membimbing kita untuk menemukan kembali makna pembaptisan kita. Prapaska mengajak kita untuk menerima rahmat yang telah dilimpahkan Allah ke atas kita, sehingga dapat menerangi dan membimbing seluruh tindakan kita. Sakramen memberikan tanda dan menyadarkan bahwa kita dipanggil sebagai pengikut Kristus untuk menjadi lebih murah hati. Di dalam perjalanan kita, marilah kita mempercayakan diri kita kepada Perawan Maria, yang telah melahirkan Sabda Allah dalam iman dan daging, sehingga kita dapat membenamkan diri kita – seperti yang ia kehendaki - ke dalam kematian serta kebangkitan puteranya, Yesus dan memperoleh kehidupan kekal.

Vatikan, 4 November 2010
Paus Benedictus XVI
Diterjemahkan oleh Fr. Fol Piluit CDD