Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

24 March 2011

KEPEKAAN AKAN KEHADIRAN ALLAH

Oleh: Fr. Petrus Ruslan Suban Diaz CDD

1. Pengantar
Semua umat beriman percaya akan adanya Allah. Allah menjadi pusat dan tujuan seluruh kehidupan mereka. Inilah inti seluruh ungkapan iman dan kepercayaan manusia. Namun kepercayaan ini bukanlah tanpa tantangan dan hambatan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang kemudian mulai mempertanyakan keberadaan Allah. Sungguhkah Allah itu ada? Benarkah ajaran agama yang mengatakan Allah itu hidup?

Karya tulis ini tidak akan membahas dan menjawab persoalan-persoalan tersebut secara mendetil dengan pandangan para ahli, khususnya teolog-teolog. Di sini hanya akan dipaparkan gagasan Allah menurut pemikiran Celso Costantini. Kita akan melihat bagaimana Celso Costantini memahami Allah dan menghayatiNya.

2. Gagasan Allah menurut Celso Costantini

2.1 Allah Yang Hidup
Pembic
araan tentang Allah selalu menjadi bahan yang paling menarik bagi manusia. Manusia memang tidak pernah berhenti mencari Allah. Inilah kerinduan terbesar dari dalam dirinya. Manusia begitu mendambakan Allah yang diyakini sebagai pemberi hidupnya. Kerinduan untuk berjumpa dengan Allah ini mengandaikan bahwa manusia yakin Allah itu ada dan hidup. Manusia percaya bahwa Allah senantiasa bersamanya dalam mengarungi kehidupan. Allah-lah yang menganugerahkan kehidupan ini kepadanya. Dari hidup-Nyalah mengalir seluruh kehidupan manusia.
Celso costantini mengatakan bahwa Allah adalah Yang-Ada dalam dirinya sendiri. Ia adalah Ada Mutlak, Ada Tak Terbatas, dan Ada yang harus ada (Celso Costantini, Induite Vos Armaturam Dei, hal. 11) Dengan kata lain Allah memikul sifat yang abadi dan kekal. Ia tidak berawal dan berakhir, juga tidak terbatas pada ruang dan waktu. dengan demikian, Allah menjadi penopang segala yang hidup di dunia ini, termasuk hidup manusia sendiri. Ia menjadi tumpuan dan tujuan untuk setiap kehidupan semesta raya ini. Dengan kata lain, semesta raya ini berasal dari Allah, hidup oleh Allah, dan akan kembali kepada Allah. Sebagai Ada yang absolut dan yang harus ada, Allah tidak membutuhkan manusia dan ciptaan yang lainnya. Ia ada dengan sendiriNya tanpa suatu peng-ada yang lain. Iman Kristiani membahasakan hal ini dengan sangat indah dalam Credo-nya,“Ia ada sebelum segala abad.” (Bdk. Credo Nicea-Konstantinopel) Muncullah pertanyaan, lalu mengapa Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini? Apakah Allah merasa kurang sempurna tanpa manusia? Penciptaan manusia dan semesta raya seolah-olah menandakan bahwa Allah membutuhkan teman. Allah sepertinya merasa kurang lengkap tanpa kehadiran manusia yang diciptakannya tersebut. Telah banyak filosof maupun teolog Kristiani bergumul dengan persoalan itu. Mereka berusaha dengan berbagai cara dan metode untuk memecahkan masalah-masalah itu. Jawaban yang umum diberikan adalah Allah menciptakan semesta raya ini melulu karena Allah mencintai semua itu. Fakta bahwa Allah telah menciptakan semesta memiliki alasan hanya karena kemurahan dan kebaikan Allah semata. Karena itu, keberadaan semesta raya tergantung sepenuhnya pada sang pengada, sang penyebab ada yaitu Allah sendiri (Valentinus Saeng, kosmologi, sebuah diktat kuliah, Bab III). Allah tidak merasa kekurangan dalam dirinya sehingga harus menciptakan manusia dan semesta raya ini. Allah menciptakan semuanya karena kehendak bebas Allah sendiri (Celso Costantini, Loc. Cit.). Semua itu merupakan daya cipta dan kreasi Allah, dan mengalir dari eksistensi Allah.

2.2 Allah Yang Tersamar

2.2.1 Dalam Alam
Semesta
Dalam bukunya yang berjudul "Induite Vos Armaturam Dei (kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah)" Celso Costantini mengatakan bahwa dunia jagad raya ini bukanlah Allah, tetapi hanya ciptaanNya, hasil buah kecerdasan dan kehendakNya yang kekal dan tidak terbatas (Celso Costantini, Loc. Cit.). Mereka menampakkan betapa Mahabesar dan betapa Mahakuasanya Dia. Seluruh jagat raya ini berada dalam pelukan dan genggaman tanganNya. Hal ini sebada dengan apa yang dikatakan oleh Rasul Santo Paulus,” ”Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada (Kis 17:28).” Jagad raya ini berada dalam ”pengawasan” Allah. Kata ”pengawasan” tidak memaksudkan bahwa Allah seperti seorang polisi yang selalu mengawasi gerak-gerik orang yang dicurigai. Terminologi ini mau mengatakan bahwa Allah adalah penyelenggara dari semesta raya ini. Tidak ada satupun yang bergerak tanpa diketahui Allah. Dia yang menyelenggarakan dan menopang seluruh kehidupan ini. Terminologi ”menopang” mengandung makna bahwa Allah menjadi dasar hidup semesta alam ini. Dengan kata lain, jika tidak maka alam semesta ini akan mengalami kematian. karena itu kita dapat berkesimpulan bahwa Allah senantiasa hadir dalam semesta raya ini. Ia ”berada” dibalik semesta ini untuk memberikan dan memelihara kehidupan semesta raya. Oleh karena itu, ketika kita mengagumi keindahan alam pegunungan, pantai laut, maupun bunga-bungan mawar yang harum mewangi, akal budi kita tidak boleh terpaku pada apa yang tercerap oleh indera kita. Pikiran kita hendaknya diarahkan pada sesuatu yang melampaui apa yang bersifat empriris tersebut. Dengan kata lain, Celso secara tidak langusng mengajak kita melihat sesuatu yang ada dibalik indahnya pemandangan alam dan wanginya sekuntum bunga mawar tersebut. Dia ingin mengatakan kepada kita bahwa tentulah keindahan dan keharuman itu tidak datang dengan sendirinya. Semua itu pasti mengalir dari Sang Keindahan dan Keharuman Sejati. Itulah yang kita kenal sebagai Allah. Dia ada di ”balik” bunga mawar sehingga mawar itu memancarkan aroma keharuman dari kehadiranNya. Ia tersamar dalam indahnya pemandangan alam, sehingga alam itu menampilkan keindahan dan kemegahan Pribadi-Nya.

2.2.2 Dalam Sakramen Mahakudus

Dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah dikenal sebagai sosok yang suci dan tak terhampiri. Ia adalah Pribadi yang transenden, yang tidak dapat dicerap oleh panca indera manusia. Namun dalam Perjanjian Baru, Allah yang transenden, suci, kudus, dan tak terhampiri itu masuk ke dalam sejarah manusia. Ia mengambil rupa manusia, hidup sebagai manusia, dan menjadi seperti manusia, kecuali dalam hal dosa. Allah hadir dalam Diri Kristus dan berjalan di tengah umatNya. Allah yang dulunya terasa jauh, kini dekat dengan umatNya. Demikianlah Kristus hadir dan menampilkan Pribadi Allah yang tak kelihatan. Ia merepresentasikan sosok Allah yang tak terhampiri itu. Hal itu seperti yang Ia katakan kepada Rasul Filipus,”Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa (Yoh 14:9).” Atau pada tempat yang lain Ia mengatakan, ”Aku dan Bapa adalah satu (Yoh 10:30).” Pernyataan-pernyataan Yesus ini, mau menunjukkan bahwa Allah sungguh hadir dalam diri Yesus.
Kita meyakini bahwa dalam Ekaristi Kristus juga hadir di tengah-tengah kita. Kita percaya bahwa Roti dan Anggur yang dikonsekrasikan oleh Imam sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Santo Ambrosius memberikan penjelasan yang begitu indah mengenai misteri perubahan itu. Ia mengatakan bahwa jika sabda Elia mampu menurunkan hujan api dari langit, sabda Kristus tentu mampu mengubah roti dan anggur ekaristi menjadi Tubuh dan DarahNya sendiri (St. Ambrosius, De Mysteri, Art. 52). Dengan kata lain, Santo Ambrosius menegaskan bahwa roti d
an Anggur dalam kurban Ekaristi adalah tubuh dan darah Kristus. Jadi, dengan mengikuti dan merayakan Ekaristi setiap hari, kita senantiasa berjumpa dengan Allah. Allah menghadirkan dan menyatakan diriNya dalam rupa roti dan anggur yang rapuh, sebagaimana dulu Ia menyatakan DiriNya dalam sosok manusia Yesus.

2.2.3 Dalam Diri Sri Paus

Sri Paus merupakan suksesor dari santo Petrus. Dia mengemban kuasa yang diberikan ol
eh Kristus kepada Santo Petrus tatkala Ia berkata,”kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Surga (Mat 16:19).” Inilah kekuasaan tertinggi yurdiksi Allah yang diberikan kepada Santo Petrus. Dan sekarang, kekuasaan itu diteruskan dan diwariskan oleh Santo Petrus kepada para suksesinya yaitu Paus. Dengan kata lain Sri Paus adalah wakil Kristus di dunia saat ini. Ia menjadi gembala bagi Gereja dan sekaligus mempelai Gereja dari Gereja yang suci, sebagaimana Kristus adalah mempelai Gereja. Dalam dan melalui dirinya, Kristus hadir untuk menggembalakan domba-dombaNya di dunia. Celso Costantini menggambarkan Sri Paus sebagai Kristus, Mempelai Gereja. Ia menuliskan dalam bukunya IVAD, ”Para puteraku terkasih, saya tuliskan pikiran-pikiran ini bagi kalian, di saat-saat Gereja sedang berkabung atas wafatnya Paus agung Pius XI, sehingga untuk beberapa saat Gereja menjadi janda.” (Celso Costantini, Op. Cit., hal. 41) Ungkapan ”Gereja menjadi janda” mengandaikan bahwa Gereja kehilangan mempelainya. Istilah ”janda” memang dikenakan untuk seorang wanita yang suami atau mempelainya telah meninggal. Karena itu, sebagai mempelai Gereja Sri Paus adalah representasi dari Kristus, Sang Mempelai Gereja. Secara lebih jelas dalam bagian lain IVAD, Celso Costantini juga berkata,”Sri Paus, izinkan saya menyamakannya, adalah sebuah Ekaristi yang lain, karena di dalam dia, di bawah wakil-Nya yang khusus itu, Kristus hidup dan berkarya dengan kekuasaan tertinggi:mutlak.” (Ibidem, hal. 180) Oleh sebab itu, dalam Gereja yang kudus, Yesus Kristus, Allah Putera, senatiasa hadir dan menyertai umatnya sebagaimana yang sudah Ia janjikan sebelum naik ke Surga. Ia hadir hadir dan berkarya setiap saat dalam Kurban Ekaristi dan dalam diri Sri Paus.

2.3 Allah Yang Tak Dikenal
Ungkapan Allah yang tak dikenal membangkitkan memori kita kepada kisah Santo Paulus yang berkarya mewartakan injil di Athena (Lih. Kis 17:16-34). Paulus sepertinya mengalami suatu kegagalan total ketika ia memaparkan inti dari ajaran iman yang ia bawa yaitu, kebangkitan Kristus dengan badan dan jiwaNya. Para filosof yang menganut paham dualisme (Paham dualisme adalah paham yang mengatakan bahwa manusia terdiri dua bagian yaitu badan dan jiwa. Badan dipandang sebagai penjara jiwa, sehingga orang harus berusaha mematikan badan supaya jiwa dapat dibebaskan dari belenggu badan). sama sekali tidak menerima kebangkitan badan. Iman yang tanpa hambatan di Yerusalem itu kini harus berpapasan dengan filsafat yang notabene mendewakan rasio manusia. Akan tetapi, usaha Paulus untuk memperkenalkan Kristus kepada orang-orang di Atena ini menjadi moment penting dalam sejarah kekristenan. Paulus telah berhasil mempertemukan iman dengan filsafat Yunani. Ia telah menarik perhatian orang-orang Yunani (para filosof) dengan memakai pola pemikiran mereka untuk menjelaskan Kristus. Orang-orang Atena dibawa kepada pengenalan akan Kristus dengan kebijaksanaan dan kebudayaan mereka sendiri. Inilah awal dari suatu inkulturasi dan karya pewartaan. Celso Costantini mengapresiasi metode Paulus tersebut dengan mengatakan bahwa episode perjumpaan iman dengan filsafat itu berisi tentang suatu ajaran-ajaran misioner yang sangat tinggi, norma dasar metodologi misioner (Bdk. Celso Costantini, Op.Cit., hal. 132).
Celso Costantini memetik beberapa hal yang sangat berharga bagi karya misi dari kisah pewartaan Paulus di Atena tersebut. Ia menyebutnya dengan ”Prinsip Misiologi Paulinum” (Ibidem, hal. 134), yaitu:

  1. Jangan mempersulit pendengar, tetapi tariklah perhatian dan simpati mereka.
  2. Perlulah melengkapi diri dengan pengetahuan tentang budaya setempat.
  3. Berangkatlah dari pengalaman nyata mereka untuk sampai ke hal yang belum mereka ketahui, dari kebenaran natural sampai ke kebenaran supranatural.
Celso memberikan contoh yang bagus sekali, ketika Paulus menjelaskan iman kepada orang-orang Atena ia tidak langsung menyalahkan mereka dengan segala penyembahan berhala. Paulus berangkat dari kebijaksanaan yang ada dan hidup dalam masyarakat mereka untuk menghantar mereka kepada Allah yang tidak (belum) mereka kenal. Demikian juga ketika mewartakan Kristus kepada orang-orang Cina, kita dapat memakai pemikiran-pemikiran kuno yang telah ada seperti Konfucius yang begitu dijunjung tinggi di sana. Dengan pemikiran itu kita dapat membawa orang-orang Cina kepada Kristus. Celso menegaskan bahwa kebijaksanaan itu tidak dapat kita hilangkan dan kita salahkan, sebab itu berkembang berabad-abad lamanya sebelum Kristus ada. Mereka (para bijak) tentu tidak mungkin menulis dan mengajar tentang Kristus pada zaman mereka tersebut. Kita yang sudah mengenal Kristus mengemban tugas untuk menuntun kebijaksanaan itu kepada kebijaksanaan sejati, yaitu Kristus (Bdk. Ibidem, Op. Cit., hal. 136). Karena itu, untuk mewartakan iman kepada orang-orang kafir kita juga perlu memperhatikan kebijaksanaan yang tumbuh dalam masyarakat setempat. Mereka sebenarnya telah memiliki konsep-konsep mengenai Allah, hanya mereka belum mengenalNya dengan baik.

2.4 Allah Sang Seniman

Seniman mengandaikan adanya karya-karya seni. Seseorang dikatakan sebagai seniman kalau ia telah membuat suatu karya yang memiliki nilai seninya. misalnya pelukis, pematung, dsb. Seorang pelukis tentu terkenal karena lukisannya yang begitu sedap dipandang mata. Demikian juga pematung terkenal karena patung-patungnya yang memesona mata setiap orang yang memandangnya. Ketika hasil karya mereka dipuji, otomatis mereka juga akan mendapat pujian, sebab orang yang memuji lukisannya tentu juga akan memuji pelukisnya. hal ini dikarenakan suatu karya merupakan daya cipta dan kreasi murni dari seorang seniman. Dengan kata lain, karya seni adalah ekspresi diri seniman yang tertuang dalam bentuk lukisan, patung-patung, maupun pernak-pernik lainnya. Karya seni menjadi gmabaran dari pribadi seorang seniman. Dengan demikian, maka ada suatu kesatuan yang tak terpisahkan antara seniman dan karya seninya.
Celso Costantini mengatakan bahwa semesta raya ini merupakan buah karya dari kecerdasan dan kehendak budiNya (Celso Costantini, Loc. Cit.). Dengan kata lain, Celso mau mengatakan bahwa Allah adalah seorang seniman. Ia menciptakan sebuah mahakarya yang luar biasa, yaitu semesta alam ini. Suatu karya yang tak ada bandingannya. Karya yang mempesona, memukau, dan membuat mata menjadi terpana. Semua orang terkagum-kagum menyaksikan indahnya alam semesta ini. Semua yang menyaksikan karya mahadahsyat ini akan ikut berseru bersama Albert Einstein,”God does not play dice.” (Diterjemahkan dengan “Tuhan tidak bermain dadu.”) Semua diciptakan bukan dengan perkiraan-perkiraan tetapi dengan skema yang teratur dan harmonis. Karena itu, jika sebuah karya seni melukiskan kepribadian seniman yang membuatnya, maka semesta raya ini juga melukiskan siapa Allah. Dengan kata lain, kita dapat menegaskan kembali bahwa Allah memang sungguh-sungguh hadir secara samar dalam semesta raya ini.

4. Kesimpulan
Dalam pandangan Celso Costantini, Allah hadir dimana-mana, terutama dalam segala karya ciptaanNya. Semesta raya, dalam Ekaristi, dan juga dlam diri Bapa Suci menghadirkan sosok Allah yang transenden, yang tak dapat dicerap indera manusia. Oleh karena itu, Celso menganjurkan agar kita harus senantiasa menghidupkan kepekaan kita terhadap cara hadirnya Allah. Kita hidup dalam genggaman dan pelukan Allah. Sebagaimana digambarkan dengan sangat indah oleh Celso bahwa kita hidup dalam Allah sebagaimana ikan hidup dalam air. Tanpa air, ikan-ikan akan mati, demikian pula kita tak dapat hidup tanpa Allah. Gambaran lain yang diberikan oleh Celso yaitu, kita hidup dengan menghirup udara. Udara yang kita hirup itu adalah Allah. Setiap kita menarik nafas, kita memasukkan Allah ke dalam jiwa kita.
Dari dua gambaran tersebut, Celso ingin mengatakan bahwa adalah pokok hidup kita. Kita tak dapat hidup tanpa Dia. Jika kita melihat bagaimana gambaran yang diberikan oleh Celso, maka kita disadarkan bahwa Allah ada di dekat kita. Kita diselubungi Alla. Dia bagaikan selimut yang menghangatkan hidup kita.