Kel 3:1-8a.13-15; Mzm 103:1-2.3-4.6-7.8.11; 1Kor 10:1-6.10-12; Luk 13:1-9
TANGGALKANLAH KASUTMU, SEBAB TANAH INI KUDUS!
Bacaan hari ini memberikan suatu inspirasi baru. Musa mendapatkan penampakan semak yang terbakar tetapi tidak hangus. Lalu dari semak itu Tuhan Allah mengutus dia untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan bangsa Mesir. Kerap kali justru dalam renungan kita terfokus pada nama Allah yang menyebut dirinya "Aku adalah Sang Aku", atau terfokus pada tugas perutusan Musa.
Kali ini baiklah kita melihat pada perintah Allah sendiri kepada Musa sewaktu dia mendekati semak yang terbakar itu. Sewaktu Musa mengendap-endap mendekati semak terbakar itu untuk memeriksanya, Tuhan Allah berseru mengagetkan Musa: "Jangan mendekat! Tanggalkanlah kasut dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu adalah kudus." Kasut harus ditanggalkan karena tanah yang diinjak ini kudus! Perintah ini begitu jelas dan gamblang. Untuk bertemu dengan Tuhan orang harus menanggalkan kasutnya.
Kasut adalah alas kaki. Fungsinya jelas sangat penting, apalagi bagi orang jaman sekarang. Bila kita lihat, setiap hari orang berkasut untuk melindungi kaki dari pelbagai ancaman. Meskipun kelihatannya sepele, kasut merupakan alat pelindung yang penting. Dan boleh dikatakan, dialah satu-satunya alat yang membantu manusia untuk berjalan dan menjalankan aktivitas sehari-hari. Kaki tanpa kasut akan mengalami kesulitan di jalan yang tidak rata dan penuh kerikil. Apalagi di jalan gunung yang penuh debu dan kerikil, kasut menjadi sangat penting. Namun barang yang penting itulah yang diminta Tuhan untuk ditanggalkan. Tanggalkanlah kasut dari kakimu, tanggalkanlah hal yang kauanggap paling penting dalam hidupmu! Janganlah mengandalkan itu lagi. Sebab pada saat ini tanah tempat engkau berdiri adalah kudus.
Alangkah istimewanya situasi saat berjumpa dengan Allah. Namun dalam perjumpaan dengan Allah kita membawa serta segala yang kita anggap penting dalam hidup ini. Kita merasa itulah jaminan dan pegangan kita. Demikian juga dalam hidup membiara. Betapa sering kita lihat bahwa kehidupan seorang biarawan/wati yang pada mulanya kosong, tidak membawa apa-apa, semakin lama dalam hidup membiara semakin membawa banyak harta benda. Hal ini menjadi sangat nyata sewaktu orang tersebut dipindahtugaskan ke kota lain. Kerap kali kita memberi alasan bahwa milik yang kita pakai itu adalah alasan dalam berkarya, fasilitas yang membantu kita. Alasan ini bisa saja benar. Meskipun demikian, setiap saat kita diingatkan untuk menanggalkan kasut. Mengapa? Karena tanah yang kita injak itu kudus. Jalan yang kita tapaki itu suci, dan membawa kita semakin dekat dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Allah, itu lebih penting dari segala fasilitas yang ada di sekitar kita.
Bila hanya Allah yang kita andalkan (saya teringat akan devosi Kerahiman Ilahi yang mempunyai semboyan: YESUS, ENGKAULAH ANDALANKU!), maka dengan sendirinya kita akan menghasilkan buah. Tidak seperti pohon ara yang didatangi Yesus, yang tidak menghasilkan buah sedikitpun sehingga mengecewakan Tuhan. Meskipun sudah diusahakan, dirawat, dan sebagainya, pohon itu tetap diharapkan supaya berbuah. Sama halnya dengan orang Israel dalam bacaan ke 2, umat Israel dan orang Kristiani yang meskipun makan makanan rohani yang sama dan minum minuman rohani yang sama (di padang gurun makan manna dan minum dari batu karang, dan orang Kristiani dari Tubuh dan Darah Kristus) karena tidak menghasilkan buah, akan ditolak oleh Allah, dan akan binasa dengan cara yang mengerikan.
Maka melepaskan kasut seperti Musa mempunyai makna bagi kita untuk melepaskan diri dari segala hal yang membuat kita merasa nyaman dan aman. Tinggalkanlah semua yang kiranya menjadi keinginan diri, terutama dari sikap mau memiliki fasilitas dan barang duniawi, dan sebaliknya memeluk dan menginginkan hanya Tuhan sendiri. Maka tanah yang kita injak, jalan yang kita tekuni ini akan menjadi kudus dan membawa kita kepada hati yang berkobar-kobar menuju kepada Allah.
No comments:
Post a Comment