Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

26 March 2011

'Festival Film Cannes ‘Mempunyai Penasihat Monastik” di Lokasi Syuting'

Oleh Pattison


WASHINGTON (CNS) – Pemenang hadiah pertama Festival Film Cannes “Of Gods and Men,” ditayangkan di Amerika Serikat mempunyai seorang “penasihat monastic” di lokasi shooting untuk menolong menggambarkan dengan tepat kehidupan para rahib Perancis yang menjadi pusat cerita.

Henry Quinson yang pernah tinggal selama enam tahun di biara Cistercian Perancis mengenal dua orang rahib yang digambarkan di dalam film itu.

Pokok film ini tidak umum untuk sebuah film: kehidupan tujuh orang rahib Trappis pada masa kekacauan di Algeria di tahun 1990. Semua rahib ini diculik pada tahun 1996 dan akhirnya dipenggal.

“Sangatlah sulit bagiku membuat film yang murah - apalagi kalau sampai mengucurkan darah,” kata Quinson kepada Catholic News Service pada tanggal 18 Februari dalam sebuah interview dari Marseilles, Perancis, tempat tinggalnya. “Kehidupan seperti ini sangat berbeda dengan gaya hidup orang-orang yang aku kenal.”

Xavier Beauvois yang menyutradarai dan co-penulis naskah “Of Gods and Men,” mendekati Quinson setelah membaca memoir kehidupan monastiknya, yang sudah diterjemahkan dari bahasa Perancis ke bahasa Inggris tentang pembunuhan para rahib itu.

Quinson menuliskan dalam emailnya kepada Beauvois, “Aku memerlukan seseorang mendapingiku dalam film ini. … Sewaktu ‘para rahib berdoa’ mereka berpakaian apa? Apa yang mereka kerjakan? Apakah mereka menyanyikan doanya? Aku memerlukan seseorang yang mengenal kehidupan monastik.”

Quinson setuju menolong Beauvois, karena dia sendiri sebenarnya sedang mempertimbangkan membuat film tentang kehidupan Trappist Perancis.

“Tugas kecilku adalah menceritakan sejarah mereka,” kata Quinson, “… dengan setia kepada saudara-saudara rahib, dan menjangkau sebanyak mungkin orang-orang lain.”

Quinson mengatakan bahwa Algeria di pertengahan 1990 berjuang mengatasi pelbagai persoalan seperti yang sekarang menggoyahkan banyak negara mayoritas muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah.

“Pembunuhan para rahib merupakan titik balik di Algeria. Tidak berarti bahwa sekarang ini di Algeria tidak terjadi kekerasan. Saat ini Algeria juga sedang memanas,” katanya kepada CNS. “Sejak ’96 tidak ada lagi umat kristiani yang dibunuh, dan saya pikir penduduk Algeria mulai mengerti bahwa kekerasan tidak akan membawa masa depan yang cerah, dan penyelesaian persoalan tidak akan berhasil dengan menteror penduduk, apalgai karena iman kepercayaan mereka - sementara itu banyak orang Muslim juga dibunuh di Algeria - tetapi orang mulai mempertanyakan siapa yang membunuh siapa.”

Quinson mengatakan, “Saya di Maroko selama dua bulan sewaktu shooting film ini, karena Beauvois meminta saya mendampinginya – ‘Henry, apakah begini sudah benar?’ – untuk menciptakan kembali suasana biara.”

Pada waktu pengambilan tayangan di kapel, Beauvois melemparkannya: “Henry, di bagian ini kamu sutradaranya. Aku tidak bisa menyutradarai sesuatu yang tidak aku ketahui. Apa yang akan mereka buat? Apa yang mereka pikirkan?”

“Di sepanjang film ini ada 15 persen nyanyian dan dialog. Aku menulis ulang salah satu pembicaraan tentang menjadi martir, yang menjadi bagian yang paling penting dalam film,” kata Quinson kepada CNS. “Kami tinggal di sebuah biara” sambil mengajari para aktor, bekerja dengan Beauvois di lokasi shooting dan menciptakan ulang kembali suasana biara itu di Maroko untuk keperluan film ini.

Quinson, anak seorang bankir, lahir di kota New York dan pernah tinggal di Eropa, terutama di Perancis dan Belgium sejak usia 5 tahun.

“Aku bukan rahib asli dalam pengertian bahwa aku bukan anggota dari salah satu ordo rahib. Tetapi aku selibat, bekerja bagi Gereja,” kata Quinson, yang akan berusia 50 tahun pada tanggal 8 Maret ini. “Aku bekerja sebagai guru di Marseille ini. Aku bekerja part-time, sehingga bisa mempunyai waktu cukup untuk menolong tetangga” di antara orang Muslim di Marseille dengan “banyak bantuan pendidikan dan finansial. … Banyak anak di sini tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka” karena alasan akademis atau finansial.

Quinson mengatakan bahwa sebelum pengambilan gambar, dia mendapat nasihat dari “seorang produser Perancis” yang tidak mau disebutkan namanya bahwa “kisah tentang tujuh orang rahib yang dibunuh ini tidak akan laku dijual.” Penghargaan Cannes dan pengakuan internasional membuktikan bahwa pendapat produser ini salah.

Dalam pandangannya tentang “Of Gods and Men,” John Muderig dari kantor Media Review CNS menyebutkan film itu sebagai “karya terbesar hidup religius dan tontonan yang tak bisa dilupakan.”

Film ini dimasukkan dalam kategori A-III - untuk dewasa - karena kekerasan yang berdarah, beberapa tayangan yang mengganggu dan satu dialog dengan bahasa yang kasar. Tetapi Mulderig mengatakan remaja yang sudah cukup berumur akan bisa belajar banyak dari film ini.

Menurut Mulderig, sutradara Beauvois “menemukan jalan menuju inti Injil melalui kesederhanaan dan rasa persaudaraan, dan suasana doa yang diperkaya oleh musik suci dan keheningan yang luar biasa.”

24 March 2011

KEPEKAAN AKAN KEHADIRAN ALLAH

Oleh: Fr. Petrus Ruslan Suban Diaz CDD

1. Pengantar
Semua umat beriman percaya akan adanya Allah. Allah menjadi pusat dan tujuan seluruh kehidupan mereka. Inilah inti seluruh ungkapan iman dan kepercayaan manusia. Namun kepercayaan ini bukanlah tanpa tantangan dan hambatan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang kemudian mulai mempertanyakan keberadaan Allah. Sungguhkah Allah itu ada? Benarkah ajaran agama yang mengatakan Allah itu hidup?

Karya tulis ini tidak akan membahas dan menjawab persoalan-persoalan tersebut secara mendetil dengan pandangan para ahli, khususnya teolog-teolog. Di sini hanya akan dipaparkan gagasan Allah menurut pemikiran Celso Costantini. Kita akan melihat bagaimana Celso Costantini memahami Allah dan menghayatiNya.

2. Gagasan Allah menurut Celso Costantini

2.1 Allah Yang Hidup
Pembic
araan tentang Allah selalu menjadi bahan yang paling menarik bagi manusia. Manusia memang tidak pernah berhenti mencari Allah. Inilah kerinduan terbesar dari dalam dirinya. Manusia begitu mendambakan Allah yang diyakini sebagai pemberi hidupnya. Kerinduan untuk berjumpa dengan Allah ini mengandaikan bahwa manusia yakin Allah itu ada dan hidup. Manusia percaya bahwa Allah senantiasa bersamanya dalam mengarungi kehidupan. Allah-lah yang menganugerahkan kehidupan ini kepadanya. Dari hidup-Nyalah mengalir seluruh kehidupan manusia.
Celso costantini mengatakan bahwa Allah adalah Yang-Ada dalam dirinya sendiri. Ia adalah Ada Mutlak, Ada Tak Terbatas, dan Ada yang harus ada (Celso Costantini, Induite Vos Armaturam Dei, hal. 11) Dengan kata lain Allah memikul sifat yang abadi dan kekal. Ia tidak berawal dan berakhir, juga tidak terbatas pada ruang dan waktu. dengan demikian, Allah menjadi penopang segala yang hidup di dunia ini, termasuk hidup manusia sendiri. Ia menjadi tumpuan dan tujuan untuk setiap kehidupan semesta raya ini. Dengan kata lain, semesta raya ini berasal dari Allah, hidup oleh Allah, dan akan kembali kepada Allah. Sebagai Ada yang absolut dan yang harus ada, Allah tidak membutuhkan manusia dan ciptaan yang lainnya. Ia ada dengan sendiriNya tanpa suatu peng-ada yang lain. Iman Kristiani membahasakan hal ini dengan sangat indah dalam Credo-nya,“Ia ada sebelum segala abad.” (Bdk. Credo Nicea-Konstantinopel) Muncullah pertanyaan, lalu mengapa Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini? Apakah Allah merasa kurang sempurna tanpa manusia? Penciptaan manusia dan semesta raya seolah-olah menandakan bahwa Allah membutuhkan teman. Allah sepertinya merasa kurang lengkap tanpa kehadiran manusia yang diciptakannya tersebut. Telah banyak filosof maupun teolog Kristiani bergumul dengan persoalan itu. Mereka berusaha dengan berbagai cara dan metode untuk memecahkan masalah-masalah itu. Jawaban yang umum diberikan adalah Allah menciptakan semesta raya ini melulu karena Allah mencintai semua itu. Fakta bahwa Allah telah menciptakan semesta memiliki alasan hanya karena kemurahan dan kebaikan Allah semata. Karena itu, keberadaan semesta raya tergantung sepenuhnya pada sang pengada, sang penyebab ada yaitu Allah sendiri (Valentinus Saeng, kosmologi, sebuah diktat kuliah, Bab III). Allah tidak merasa kekurangan dalam dirinya sehingga harus menciptakan manusia dan semesta raya ini. Allah menciptakan semuanya karena kehendak bebas Allah sendiri (Celso Costantini, Loc. Cit.). Semua itu merupakan daya cipta dan kreasi Allah, dan mengalir dari eksistensi Allah.

2.2 Allah Yang Tersamar

2.2.1 Dalam Alam
Semesta
Dalam bukunya yang berjudul "Induite Vos Armaturam Dei (kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah)" Celso Costantini mengatakan bahwa dunia jagad raya ini bukanlah Allah, tetapi hanya ciptaanNya, hasil buah kecerdasan dan kehendakNya yang kekal dan tidak terbatas (Celso Costantini, Loc. Cit.). Mereka menampakkan betapa Mahabesar dan betapa Mahakuasanya Dia. Seluruh jagat raya ini berada dalam pelukan dan genggaman tanganNya. Hal ini sebada dengan apa yang dikatakan oleh Rasul Santo Paulus,” ”Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada (Kis 17:28).” Jagad raya ini berada dalam ”pengawasan” Allah. Kata ”pengawasan” tidak memaksudkan bahwa Allah seperti seorang polisi yang selalu mengawasi gerak-gerik orang yang dicurigai. Terminologi ini mau mengatakan bahwa Allah adalah penyelenggara dari semesta raya ini. Tidak ada satupun yang bergerak tanpa diketahui Allah. Dia yang menyelenggarakan dan menopang seluruh kehidupan ini. Terminologi ”menopang” mengandung makna bahwa Allah menjadi dasar hidup semesta alam ini. Dengan kata lain, jika tidak maka alam semesta ini akan mengalami kematian. karena itu kita dapat berkesimpulan bahwa Allah senantiasa hadir dalam semesta raya ini. Ia ”berada” dibalik semesta ini untuk memberikan dan memelihara kehidupan semesta raya. Oleh karena itu, ketika kita mengagumi keindahan alam pegunungan, pantai laut, maupun bunga-bungan mawar yang harum mewangi, akal budi kita tidak boleh terpaku pada apa yang tercerap oleh indera kita. Pikiran kita hendaknya diarahkan pada sesuatu yang melampaui apa yang bersifat empriris tersebut. Dengan kata lain, Celso secara tidak langusng mengajak kita melihat sesuatu yang ada dibalik indahnya pemandangan alam dan wanginya sekuntum bunga mawar tersebut. Dia ingin mengatakan kepada kita bahwa tentulah keindahan dan keharuman itu tidak datang dengan sendirinya. Semua itu pasti mengalir dari Sang Keindahan dan Keharuman Sejati. Itulah yang kita kenal sebagai Allah. Dia ada di ”balik” bunga mawar sehingga mawar itu memancarkan aroma keharuman dari kehadiranNya. Ia tersamar dalam indahnya pemandangan alam, sehingga alam itu menampilkan keindahan dan kemegahan Pribadi-Nya.

2.2.2 Dalam Sakramen Mahakudus

Dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah dikenal sebagai sosok yang suci dan tak terhampiri. Ia adalah Pribadi yang transenden, yang tidak dapat dicerap oleh panca indera manusia. Namun dalam Perjanjian Baru, Allah yang transenden, suci, kudus, dan tak terhampiri itu masuk ke dalam sejarah manusia. Ia mengambil rupa manusia, hidup sebagai manusia, dan menjadi seperti manusia, kecuali dalam hal dosa. Allah hadir dalam Diri Kristus dan berjalan di tengah umatNya. Allah yang dulunya terasa jauh, kini dekat dengan umatNya. Demikianlah Kristus hadir dan menampilkan Pribadi Allah yang tak kelihatan. Ia merepresentasikan sosok Allah yang tak terhampiri itu. Hal itu seperti yang Ia katakan kepada Rasul Filipus,”Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa (Yoh 14:9).” Atau pada tempat yang lain Ia mengatakan, ”Aku dan Bapa adalah satu (Yoh 10:30).” Pernyataan-pernyataan Yesus ini, mau menunjukkan bahwa Allah sungguh hadir dalam diri Yesus.
Kita meyakini bahwa dalam Ekaristi Kristus juga hadir di tengah-tengah kita. Kita percaya bahwa Roti dan Anggur yang dikonsekrasikan oleh Imam sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Santo Ambrosius memberikan penjelasan yang begitu indah mengenai misteri perubahan itu. Ia mengatakan bahwa jika sabda Elia mampu menurunkan hujan api dari langit, sabda Kristus tentu mampu mengubah roti dan anggur ekaristi menjadi Tubuh dan DarahNya sendiri (St. Ambrosius, De Mysteri, Art. 52). Dengan kata lain, Santo Ambrosius menegaskan bahwa roti d
an Anggur dalam kurban Ekaristi adalah tubuh dan darah Kristus. Jadi, dengan mengikuti dan merayakan Ekaristi setiap hari, kita senantiasa berjumpa dengan Allah. Allah menghadirkan dan menyatakan diriNya dalam rupa roti dan anggur yang rapuh, sebagaimana dulu Ia menyatakan DiriNya dalam sosok manusia Yesus.

2.2.3 Dalam Diri Sri Paus

Sri Paus merupakan suksesor dari santo Petrus. Dia mengemban kuasa yang diberikan ol
eh Kristus kepada Santo Petrus tatkala Ia berkata,”kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Surga (Mat 16:19).” Inilah kekuasaan tertinggi yurdiksi Allah yang diberikan kepada Santo Petrus. Dan sekarang, kekuasaan itu diteruskan dan diwariskan oleh Santo Petrus kepada para suksesinya yaitu Paus. Dengan kata lain Sri Paus adalah wakil Kristus di dunia saat ini. Ia menjadi gembala bagi Gereja dan sekaligus mempelai Gereja dari Gereja yang suci, sebagaimana Kristus adalah mempelai Gereja. Dalam dan melalui dirinya, Kristus hadir untuk menggembalakan domba-dombaNya di dunia. Celso Costantini menggambarkan Sri Paus sebagai Kristus, Mempelai Gereja. Ia menuliskan dalam bukunya IVAD, ”Para puteraku terkasih, saya tuliskan pikiran-pikiran ini bagi kalian, di saat-saat Gereja sedang berkabung atas wafatnya Paus agung Pius XI, sehingga untuk beberapa saat Gereja menjadi janda.” (Celso Costantini, Op. Cit., hal. 41) Ungkapan ”Gereja menjadi janda” mengandaikan bahwa Gereja kehilangan mempelainya. Istilah ”janda” memang dikenakan untuk seorang wanita yang suami atau mempelainya telah meninggal. Karena itu, sebagai mempelai Gereja Sri Paus adalah representasi dari Kristus, Sang Mempelai Gereja. Secara lebih jelas dalam bagian lain IVAD, Celso Costantini juga berkata,”Sri Paus, izinkan saya menyamakannya, adalah sebuah Ekaristi yang lain, karena di dalam dia, di bawah wakil-Nya yang khusus itu, Kristus hidup dan berkarya dengan kekuasaan tertinggi:mutlak.” (Ibidem, hal. 180) Oleh sebab itu, dalam Gereja yang kudus, Yesus Kristus, Allah Putera, senatiasa hadir dan menyertai umatnya sebagaimana yang sudah Ia janjikan sebelum naik ke Surga. Ia hadir hadir dan berkarya setiap saat dalam Kurban Ekaristi dan dalam diri Sri Paus.

2.3 Allah Yang Tak Dikenal
Ungkapan Allah yang tak dikenal membangkitkan memori kita kepada kisah Santo Paulus yang berkarya mewartakan injil di Athena (Lih. Kis 17:16-34). Paulus sepertinya mengalami suatu kegagalan total ketika ia memaparkan inti dari ajaran iman yang ia bawa yaitu, kebangkitan Kristus dengan badan dan jiwaNya. Para filosof yang menganut paham dualisme (Paham dualisme adalah paham yang mengatakan bahwa manusia terdiri dua bagian yaitu badan dan jiwa. Badan dipandang sebagai penjara jiwa, sehingga orang harus berusaha mematikan badan supaya jiwa dapat dibebaskan dari belenggu badan). sama sekali tidak menerima kebangkitan badan. Iman yang tanpa hambatan di Yerusalem itu kini harus berpapasan dengan filsafat yang notabene mendewakan rasio manusia. Akan tetapi, usaha Paulus untuk memperkenalkan Kristus kepada orang-orang di Atena ini menjadi moment penting dalam sejarah kekristenan. Paulus telah berhasil mempertemukan iman dengan filsafat Yunani. Ia telah menarik perhatian orang-orang Yunani (para filosof) dengan memakai pola pemikiran mereka untuk menjelaskan Kristus. Orang-orang Atena dibawa kepada pengenalan akan Kristus dengan kebijaksanaan dan kebudayaan mereka sendiri. Inilah awal dari suatu inkulturasi dan karya pewartaan. Celso Costantini mengapresiasi metode Paulus tersebut dengan mengatakan bahwa episode perjumpaan iman dengan filsafat itu berisi tentang suatu ajaran-ajaran misioner yang sangat tinggi, norma dasar metodologi misioner (Bdk. Celso Costantini, Op.Cit., hal. 132).
Celso Costantini memetik beberapa hal yang sangat berharga bagi karya misi dari kisah pewartaan Paulus di Atena tersebut. Ia menyebutnya dengan ”Prinsip Misiologi Paulinum” (Ibidem, hal. 134), yaitu:

  1. Jangan mempersulit pendengar, tetapi tariklah perhatian dan simpati mereka.
  2. Perlulah melengkapi diri dengan pengetahuan tentang budaya setempat.
  3. Berangkatlah dari pengalaman nyata mereka untuk sampai ke hal yang belum mereka ketahui, dari kebenaran natural sampai ke kebenaran supranatural.
Celso memberikan contoh yang bagus sekali, ketika Paulus menjelaskan iman kepada orang-orang Atena ia tidak langsung menyalahkan mereka dengan segala penyembahan berhala. Paulus berangkat dari kebijaksanaan yang ada dan hidup dalam masyarakat mereka untuk menghantar mereka kepada Allah yang tidak (belum) mereka kenal. Demikian juga ketika mewartakan Kristus kepada orang-orang Cina, kita dapat memakai pemikiran-pemikiran kuno yang telah ada seperti Konfucius yang begitu dijunjung tinggi di sana. Dengan pemikiran itu kita dapat membawa orang-orang Cina kepada Kristus. Celso menegaskan bahwa kebijaksanaan itu tidak dapat kita hilangkan dan kita salahkan, sebab itu berkembang berabad-abad lamanya sebelum Kristus ada. Mereka (para bijak) tentu tidak mungkin menulis dan mengajar tentang Kristus pada zaman mereka tersebut. Kita yang sudah mengenal Kristus mengemban tugas untuk menuntun kebijaksanaan itu kepada kebijaksanaan sejati, yaitu Kristus (Bdk. Ibidem, Op. Cit., hal. 136). Karena itu, untuk mewartakan iman kepada orang-orang kafir kita juga perlu memperhatikan kebijaksanaan yang tumbuh dalam masyarakat setempat. Mereka sebenarnya telah memiliki konsep-konsep mengenai Allah, hanya mereka belum mengenalNya dengan baik.

2.4 Allah Sang Seniman

Seniman mengandaikan adanya karya-karya seni. Seseorang dikatakan sebagai seniman kalau ia telah membuat suatu karya yang memiliki nilai seninya. misalnya pelukis, pematung, dsb. Seorang pelukis tentu terkenal karena lukisannya yang begitu sedap dipandang mata. Demikian juga pematung terkenal karena patung-patungnya yang memesona mata setiap orang yang memandangnya. Ketika hasil karya mereka dipuji, otomatis mereka juga akan mendapat pujian, sebab orang yang memuji lukisannya tentu juga akan memuji pelukisnya. hal ini dikarenakan suatu karya merupakan daya cipta dan kreasi murni dari seorang seniman. Dengan kata lain, karya seni adalah ekspresi diri seniman yang tertuang dalam bentuk lukisan, patung-patung, maupun pernak-pernik lainnya. Karya seni menjadi gmabaran dari pribadi seorang seniman. Dengan demikian, maka ada suatu kesatuan yang tak terpisahkan antara seniman dan karya seninya.
Celso Costantini mengatakan bahwa semesta raya ini merupakan buah karya dari kecerdasan dan kehendak budiNya (Celso Costantini, Loc. Cit.). Dengan kata lain, Celso mau mengatakan bahwa Allah adalah seorang seniman. Ia menciptakan sebuah mahakarya yang luar biasa, yaitu semesta alam ini. Suatu karya yang tak ada bandingannya. Karya yang mempesona, memukau, dan membuat mata menjadi terpana. Semua orang terkagum-kagum menyaksikan indahnya alam semesta ini. Semua yang menyaksikan karya mahadahsyat ini akan ikut berseru bersama Albert Einstein,”God does not play dice.” (Diterjemahkan dengan “Tuhan tidak bermain dadu.”) Semua diciptakan bukan dengan perkiraan-perkiraan tetapi dengan skema yang teratur dan harmonis. Karena itu, jika sebuah karya seni melukiskan kepribadian seniman yang membuatnya, maka semesta raya ini juga melukiskan siapa Allah. Dengan kata lain, kita dapat menegaskan kembali bahwa Allah memang sungguh-sungguh hadir secara samar dalam semesta raya ini.

4. Kesimpulan
Dalam pandangan Celso Costantini, Allah hadir dimana-mana, terutama dalam segala karya ciptaanNya. Semesta raya, dalam Ekaristi, dan juga dlam diri Bapa Suci menghadirkan sosok Allah yang transenden, yang tak dapat dicerap indera manusia. Oleh karena itu, Celso menganjurkan agar kita harus senantiasa menghidupkan kepekaan kita terhadap cara hadirnya Allah. Kita hidup dalam genggaman dan pelukan Allah. Sebagaimana digambarkan dengan sangat indah oleh Celso bahwa kita hidup dalam Allah sebagaimana ikan hidup dalam air. Tanpa air, ikan-ikan akan mati, demikian pula kita tak dapat hidup tanpa Allah. Gambaran lain yang diberikan oleh Celso yaitu, kita hidup dengan menghirup udara. Udara yang kita hirup itu adalah Allah. Setiap kita menarik nafas, kita memasukkan Allah ke dalam jiwa kita.
Dari dua gambaran tersebut, Celso ingin mengatakan bahwa adalah pokok hidup kita. Kita tak dapat hidup tanpa Dia. Jika kita melihat bagaimana gambaran yang diberikan oleh Celso, maka kita disadarkan bahwa Allah ada di dekat kita. Kita diselubungi Alla. Dia bagaikan selimut yang menghangatkan hidup kita.


22 March 2011

Orang Muda Katolik Costantini belajar Kitab Suci


Kaum muda adalah harapan dan masa depan gereja. Kata-kata ini kiranya tepat dan bukan isapan jempol belaka. Kaum muda menjadi harapan gereja karena ditangan merekalah arah dan tujuan gereja di masa datang akan ditentukan. Pastoral kategorial umat Katolik berbahasa Mandarin di Keuskupan Agung Jakarta telah berusia lebih dari 61 tahun. Banyak suka duka yang telah mereka lewati. Dalam perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan, mereka menemukan begitu banyak rahmat dari Tuhan yang dicurahkan kepada kelompok kategorial ini. Pada gilirannya, mereka juga berhasil mengumpulkan dan membentuk kaum muda Katolik berbahasa Mandarin. Pertanyaannya adalah bagaimana membentuk dan mendampingi kelompok muda ini agar memiliki militansi yang kuat kepada iman mereka ?

Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah dengan memperdalam pemahaman dan kecintaan kepada Kitab Suci. Oleh sebab itu, OMK Costantini bekerjasama dengan pengurus Pusat Umat Katolik berbahasa Mandarin yang ada di Dwi Warna menyelenggarakan seminar atau sarasehan tentang KItab Suci. Untuk itu mereka mengundang kelompok penggiat Kitab Suci awam dari negeri Jiran yakni Malaysia. Kelompok ini disebut “Little Rock” atau batu karang. Dengan kekuatan enam orang, kelompok Little Rock dari Malaysia hadir dan membantu OMK Costantini Dwi Warna untuk membedah Kitab Suci. Kelompok itu didampingi oleh Pater Laurentius Huang da hwa CDD.

Apa sebenarnya “Little Rock” ini ? menurut sumber yang dapat kita baca, kelompok “Little Rock” muncul di Arkansas, Amerika Serikat. Selanjutnya disebut Little Rock Scripture Study (LRSS) yang dimulai pada 1970-an

Di awal 1970an Little Rock Scripture Study ditumbuhkan dari biji yang kecil dimana sepasang suami istri Katolik yang berasal dari Little Rock, Fred and Tammy Woell. Di masa mudanya, mereka pindah dari San Francisco ke Little Rock, dan mereka mengikuti dan terlibat dalam pendalaman Kitab Suci di gereja Prostestan yang disebut dengan Bible Study Fellowship (BSF). Tammy menjadi Katolik setelah mempersiapkan diri selama tiga tahun dan dia tidak mau kalau keputusannya ini salah dan sia sia. Namun dalam pertemuan itu dia menemukan bahwa banyak orang Kristen hidup tidak sesuai dengan ajarannya. Dan melalui studi Kitab Suci ini, banyak yang tertolong. Maka mereka bertanya mengapa Gereja Katolik tidak bisa memiliki hal seperti ini ? pembicaraan dengan teman teman Katolik dan Imam Katolik merubah pertanyaan mereka dari mengapa menjadi mengapa tidak

Akhirnya mereka diperkenalkan kepada Jerome Kodell, OSB, seorang putra daerah Arkansas dan biarawan dari Ordo Benedictine di Subiaco. Biarawan ini memperoleh pendidikan Kitab Suci di Roma dan tertarik untuk membentuk kelompok studi Kitab Suci. Maka situlah semuanya bermula. Semua bahan dipersiapkan dan dipelajari di rumah kemudian disharingkan bersama.

Atas anjuran Fr. Albert Schneider dari keuskupan Little Rock, kelompok baru ini memulai studi mereka dengan kisah Para Rasul. Mereka memfokuskan diri pada kekuatan Roh Kudus yang membaharui gereja dan orang-orang secara pribadi. Pater Jerome menyanggupi untuk menulis pertanyaan-pertanyaan dan membantu peserta menemukan teks Kitab Suci yang cocok untuk kehidupan mereka. Komentar Kitab suci yang dipublikasikan oleh Liturgical Press di Collegeville, Minnesota, dipilih sebagai sahabat bagi pertanyaan pertanyaan Kiatb Suci yang mereka lontarkan. Pertemuan berkala dilakukan oleh Woells, Fr. Schneider, Fr. Jerome, Fr. James Mancini, dan staff dari keuskupan dalam bidang Pendidikan Religius
Misi dan tujuan dari Little Rock Scripture Study adalah membawa manusia untuk mampu memahami Kitab Suci dan menyadari kehadiran Tuhan dalam Kitab Suci dan bagaimana Kitab Suci dapat diterapkan dalam hidup sehari hari. Seluruh bahan dan pembahasan disiapkan oleh para pakar dan berdasarkan pada ajaran Gereja Katolik.

Pada 1977, Uskup Andrew J. McDonald menjadikan Little Rock Scripture Study sebagai roda bagi promosi pendidikan dasar di Keuskupan Little Rock.dan pada 1978, Uskup McDonald memberikan sebagian lahan di dalam kompleks Keuskupan untuk kegiatan ini dan menunjuk Fr. Richard Oswald untuk memimpin program ini. Dan sejak tahun 1978, kelompok ini menyebar dengan cepat keseluruh negara. Terutama setelah Fr. James Mancini memberikan penjelasan tentang Little Rock Scripture Study pada pertemuan nasional keuskupan Liaisons untuk pengembangan karismatik. Kelompok ini sudah merambah ke berbagai negara termasuk di di seluruh Amerika, Mesir, Singapore, Malaysia, Brunei dan Indonesia.

Kaum Muda Costantini sungguh beruntung karena dapat mendalami dan belajar memahami Kitab Suci. Kegiatan ini mulai berlangsung sejak tanggal 17 sampai 20 Maret. Seluruh rangkaian acara dilaksanakan di puncak, Cipanas. Peserta yang hadir adalah campuran dari OMK dan umat senior yang sudah tergabung dalam kelompok sharing kitab suci di Dwi Warna. Fr Ignas CDD juga turut mendampingi kelompok ini mewakili pastor Hilarius CDD.seluruh rangkaian acara ditutup dengan misa kudus yang dipimpin oleh Pater Laurentius CDD dari Malaysia.
Harapan yang ingin didapatkan dari acara ini adalah agar kaum muda Costantini setelah seminar ini dapat meneruskan pelajaran Kitab Suci secara mandarin. Banyak hal yang sudah didapat dan semoga OMK Costantini dapat tumbuh dan semakin mencintai Kitab Suci.

Salam dan Doa
Ignas Huang CDD

12 March 2011

Homili Minggu Prapaskah Pertama



The First Sunday of Lent



Kutipan:

Kej 2,7-9: http://www.clerus.org/bibliaclerusonline/en/9ak0pnb.htm

Kej 3,1-7: http://www.clerus.org/bibliaclerusonline/en/9abstdc.htm

Rm 5,12-19: http://www.clerus.org/bibliaclerusonline/en/9astc2e.htm

Mt 4,1-11: http://www.clerus.org/bibliaclerusonline/en/9abtnfd.htm




Pada awal Prapaskah, yang adalah perjalanan menuju pertobatan, Gereja memberikan kita ‘senjata untuk penitensi’ yakni puasa, doa dan amal kasih. ‘Senjata-senjata’ ini tidak hanya praktek lahiriah, tetapi sebagai cerminan pertobatan batin kita, agar kita secara radikal mempercayakan diri kita kepada belas kasihan, kebaikan dan penyelenggaraan Allah. Kita dibimbing, dituntun, dan melalui bacaan-bacaan (Sabda Allah) yang dikupas secara berurutan, diteguhkan dlaam langkah menuju jalan pembebasan.


Bacaan pertama, yang menceritakan kisah ‘dosa asal’, menunjukkan titik di mana segala sesuatu terpisah. Kita tahu dengan baik ungkapan ‘dosa asal’ yang berarti ketidaktaatan manusia pertama kepada Allah. Meskipun kita tidak dapat sungguh mengerti, dosa asal inilah yang menjadi permulaan keadaan ‘ketidak-selamatan’ kita sehingga setiap orang dilahirkan dengan kecenderungan berbuat doa yang ada dalam dirinya.


Selain itu, bacaan ini juga menunjukkan dosa menjadi akar dari dosa-dosa lain: kesombongan. Kesombongan adalah pemikiran bahwa kita bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri, tidak tergantung pada apa pun, memelihara hidup kita sendiri, tidak membuka diri kita terhadap karya yang dipercayakan Allah kepada kita. Setelah kelahiran baru dalam Pembaptisan, kecenderungan kita berbuat dosa tetap ada pada kita bagaikan luka.


Dalam Mazmur 50 ditunjukkan doa seseorang yang berbalik kepada Allah dengan berkata, “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 50:6). Doa ini adalah langkah penting pertama di mana Rahmat Ilahi memungkinkan kita mengakui dosa kita. Rendah hati, dengan tidak mencari pembenaran, dan mengakui dosa-dosa kita, merupakan awal pembebasan karena inilah kebenaran dan, konsekuensinya manusia tidak lagi menjadi milik dosa, melainkan menjadi milik Kebenaran: ‘kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.’ (Yoh 8:32)


Marilah kita memohonkan pengetahuan yang jelas akan keterbatasan dan dosa-dosa kita, kerendahan hati untuk mengenal bahwa si penggoda, yang bahkan tidak membiarkan Tuhan Yesus, menjebak kita dengan dustanya yang sama seperti sejak di Taman Eden sampai akhir dunia: ‘kamu akan menjadi seperti Allah’ (Kej 3:5). Pada akar setiap dosa selalu ada dusta, sebagaimana juga pada akar setiap pembebasan sejati selalu ada kebenaran. Semoga masa yang ‘kuat’ dalam Tahun Liturgi ini menjadi kemenangan dari kebenaran. Inilah juga kemenangan dari kebebasan dan kemenangan atas kematian yang akan kita rayakan pada Paskah.

09 March 2011

Pesan Prapaskah 2011 Paus Benedictus XVI

“karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati” (Bdk. Kol 2: 12)

Saudara-saudari yang terkasih,
Masa prapaska membimbing kita pada perayaan Paska. Bagi Gereja merupakan waktu yang sangat berharga dan penting di dalam liturgi dimana dalam pandangan saya, saya menawarkan sebuah kata agar selama masa Prapaska ini, kita tinggal di dalam “ketekunan”. Seperti Gereja menantikan pertemuan yang pasti dengan mempelainya di dalam paska abadi, demikian pula komunitas Gereja bertekun di dalam doa dan karya-karya cinta kasih, memurnikan semangat, sehingga mengambil lebih banyak lagi misteri penebusan Kristus dan hidup baru di dalam Kristus Tuhan (Bdk. Prefasi I prapaska).

1. Kehidupan ini telah diberikan kepada kita pada waktu pembaptisan, ketika kita “turut serta di dalam kematian dan kebangkitan Kristus”, dan memulai “petualangan kegembiraan serta sukacita menjadi murid-Nya.” (Bdk. Homili pada pesta pembaptisan Tuhan, 10 Januari 2010). Di dalam surat ini, St. Paulus berulangkali mengulangi persatuan dengan Putera Allah yang telah membawa pembersihan. Kenyataan bahwa dalam banyak kasus, Baptis diterimakan pada saat bayi / kanak-kanak merupakan pemberian / karunia dari Allah sendiri: tidak seorangpun dapat memperoleh hidup kekal dari usahanya sendiri. Belas kasih Allah, yang menghapuskan dosa dan pada waktu yang sama, mengizinkan kita untuk mengalami “pikiran dan perasaan seperti yang terdapat juga dalam Yesus Kristus” (bdk. Flp 2:5) di dalam kehidupan kita, telah diberikan kepada setiap manusia secara bebas. Rasul bangsa kafir ini dalam suratnya kepada orang-orang di Filipi, mengungkapkan makna pertobatan yakni menempatkan diri untuk turut serta di dalam kematian dan kebangkitan Kristus; menunjukkan tujuannya: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.” (Flp 3: 10-11). Disini, Baptis tidak hanya sekedar sebuah ritus dari masa lampau, tetapi perjumpaan dengan Kristus, yang memberitahukan seluruh kenyataan pembaptisan, memberikan hidup ilahi dan memanggil para pendosa pada pertobatan; dimulai dan didukung dengan rahmat, mengizinkan pembaptisan untuk mencapai kedewasaan iman dalam Kristus.

Sebuah hubungan dan ikatan yang erat antara Baptis dan Prapaska yakni mengalami rahmat penyelamatan. Para Bapa Konsili Vatikan II menganjurkan kepada seluruh pastor untuk memberikan katekese tentang pentingnya pembaptisan di dalam liturgi prapaska (SC no. 109). Kenyataannya, Gereja senantiasa menyatukan perayaan Malam Paska dengan baptisan: sakramen ini menyatakan misteri agung dimana manusia mati terhadap dosa, hidup baru berkat kebangkitan Kristus dan menerima Roh Allah yang telah membangkitkan Yesus dari kematian (Bdk. Rm 8:11). Pemberian cuma-cuma ini haruslah senantiasa dinyalakan di dalam diri kita, dan masa Prapaska memberikan kepada kita sebuah jalan seperti masa katekumenat, yang mana bagi orang Kristen pada masa gereja awali menjadikan masa ini sebagai sekolah iman dan sekolah kehidupan kristiani yang tak tergantikan. Sungguh, mereka menghidupi baptisan mereka. Sebuah tindakan yang memberikan bentuk terhadap seluruh keberadaan mereka.

2. Supaya perjalanan dan persiapan kita menuju Paska untuk merayakan kebangkitan Tuhan – yang adalah puncak perayaan dalam seluruh tahun liturgi Gereja - berjalan secara lebih serius, apa yang harus kita lakukan agar kita dibimbing oleh Sabda Allah? Untuk alasan ini, Gereja dalam bacaan-bacan Injil minggu Prapaska, membawa kita untuk bertemu dengan Allah, merefleksikan kembali perjalanan hidup kita sebagai orang Kristen: bagi para katekumen: adalah mempersiapkan diri untuk menerima sakramen kelahiran baru, untuk dibaptis, dalam terang langkah yang baru dan pasti yang akan diambil untuk mengikuti Kristus terlebih sebagai pemberian diri secara utuh kepada-Nya.

Perjalanan minggu pertama Prapaska memberikan gambaran kepada kita tentang keadaan manusia di bumi ini. Kemenangan melawan pencobaan menjadi permulaan dari misi Yesus, yang sekaligus merupakan sebuah undangan untuk menyadari kelemahan kita supaya menerima rahmat yang membebaskan kita dari dosa dan memperoleh kekuatan baru di dalam Kristus – Sang jalan, kebenaran dan kehidupan (Bdk. Ordo Initiationis Christianae Adultorum, n. 25). Ini adalah sebuah kekuatan yang mengingatkan kita terhadap arti iman Kristiani yakni mengikuti teladan Yesus dan di dalam persatuan dengan Dia, sebuah pertempuran “melawan kekuatan penguasa kegelapan di dunia ini” (Ef 6:12) dimana setan bekerja dan tidak pernah berhenti – bahkan sampai saat ini – untuk mencobai siapapun juga yang berharap dekat dengan Tuhan: Kristus memberikan kemenangan untuk membuka hati kita, untuk berharap dan membimbing kita dalam mengatasi cobaan-cobaan setan.

Peristiwa transfigurasi Allah membuka mata kita tentang kemuliaan Kristus, yang mengantisipasi kebangkitan serta pewartaan tentang keilahian manusia. Komunitas Kristiani menyadari bahwa Kristus memimpin mereka, seperti para rasul: Petrus, Yakobus dan Yohanes “yang naik ke sebuah gunung yang tinggi. Disitu mereka sendiri saja” (Mat 17:1), untuk menerima sekali lagi di dalam Kristus, sebagai anak-anak dari Putera Allah, mendapat karunia rahmat Allah: “Inilah puteraKu yang terkasih, kepadaNya aku berkenan. Dengarkanlah Dia” (Mat17:5). Hal ini merupakan undangan bagi kita untuk mengambil jarak dari rutinitas hidup setiap hari supaya membenamkan diri di hadapan Allah. Allah mengulurkan tangan-Nya setiap hari, sebuah Sabda yang menembus kedalaman jiwa kita, sehingga kita mampu membedakan kebaikan dan kejahatan (Ibr 4:12), memperteguh harapan kita untuk mengikuti Allah.
Permintaan Yesus kepada perempuan Samaria: “Berilah Aku minum” (Yoh 4:7), ditampilkan bagi kita di dalam liturgi hari minggu ketiga Prapaska; Hal ini menunjukkan hasrat / keinginan Allah terhadap setiap manusia dan harapan untuk membangkitkan di dalam diri kita hasrat untuk mendapatkan “sumber mata air yang memberikan kehidupan kekal” (Yoh 4:14): yakni pemberian Roh Kudus, yang mengubah orang-orang Kristen ke dalam “penyembahan yang benar”, memampukan untuk berdoa kepada Bapa “di dalam Roh dan kebenaran” (Yoh 4:23). Hanya air inilah yang dapat melegakan kehausan kita akan kebaikan, kebenaran dan keindahan! Hanya air inilah yang diberikan oleh Putera Allah, yang dapat menyegarkan kegelisahan dan ketidakpuasan jiwa kita, sampai kita “beristirahat di dalam Allah” seperti yang dikatakan St. Agustinus.

Bacaan minggu Prapaska keempat berkisah tentang “orang yang terlahir buta datang kepada Kristus” memperlihatkan kepada kita, Kristus sebagai terang dunia. Injil menantang kita dengan pertanyaan: “Percayakah engkau kepada Putera manusia? Tuhan, aku percaya!” (Yoh 9:35.38), orang yang terlahir buta tersebut berseru kegirangan, mewartakan kepada semua orang perihal yang dibuat Kristus kepada dirinya. Mukjizat penyembuhan ini adalah sebuah tanda bahwa Kristus menghendaki kita agar tidak hanya melihat tanda-tanda lahiriah tetapi membuka penglihatan kita secara lebih dalam, sehingga iman kita menjadi lebih mendalam dan kita menyadari bahwa Dia adalah satu-satunya penyelamat kita. Dia menerangi seluruh kegelapan hidup dan membimbing seluruh umat manusia untuk hidup sebagai “anak-anak terang.”
Pada minggu kelima Prapaska, ketika kebangkitan lazarus diwartakan, kita dihadapkan pada puncak misteri keberadaan kita: “Aku adalah kebangkitan dan hidup … Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh 11:25-26). Bagi komunitas Kristiani, hal ini merupakan sebuah peristiwa untuk mendalami –bersama Marta - seluruh harapan akan Yesus dari Nazaret: “Ya, Tuhan, Aku percaya bahwa Engkaulah Kristus, Putera Allah, Dia yang akan datang ke dunia” (Yoh 11:27). Persatuan dengan Kristus dalam kehidupan ini, menyiapkan kita akan kematian kita, sehingga kita memperoleh hidup yang kekal bersama Dia. Iman akan kebangkitan dan harapan akan hidup yang kekal membuka mata kita untuk mencapai puncak pengertian akan keberadaan kita: Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk kebangkitan serta memperoleh kehidupan, dan kebenaran ini memberikan makna yang otentik dan pasti akan sejarah hidup manusia terhadap hubungan sosial dan pribadi antara laki-laki dan perempuan, terhadap kebudayaan, politik dan ekonomi. Tanpa terang iman ini, seluruh alam semesta mengakhiri segalanya dalam kehampaan akan masa depan.

Perjalanan masa Prapaska mencapai kepenuhannya pada Trihari suci, terutama pada waktu malam Paska: dengan membaharui janji pembaptisan, kita meneguhkan kembali bahwa Kristus adalah Tuhan di dalam hidup kita, hidup dimana Allah sendiri yang telah memberikannya kepada kita ketika kita dilahirkan kembali dengan “air dan Roh Kudus”, dan kita meneguhkan komitmen kita untuk menanggapi karya rahmat supaya kita menjadi murid-Nya.

3. Dengan membenamkan diri kita ke dalam kematian dan kebangkitan Kristus melalui sakramen Baptis, kita bergerak untuk membebaskan hati kita setiap hari, dari beban-beban materi, dari keterikatan kita dengan dunia yang memiskinkan kita dan menghalangi kita untuk menerima Tuhan dan sesama. Di dalam Kristus, Tuhan menyatakan diriNya sebagai kasih (Bdk. 1 Yoh 4:7-10). Salib Kristus menunjukkan kepada kita kekuatan Allah (Bdk. 1Kor 1:18), yang diberikan untuk menjadikan manusia menjadi manusia baru dan membawa mereka kepada keselamatan. Ini adalah bentuk cinta yang paling ekstrem (Bdk. Ensiklik Deus Caritas Est no. 12). Melalui tindakan-tindakan asketis yakni puasa, amal dan doa, dimana hal-hal tersebut merupakan bentuk ungkapan pertobatan kita, masa Prapaska mengajarkan kepada kita bagaimana menghidupi kasih Kristus secara lebih radikal. Puasa, dengan berbagai motivasi, memiliki arti religius yang sangat kuat bagi umat Kristiani: dengan memberikan makanan kepada orang miskin, kita belajar mengatasi diri kita supaya hidup di dalam kasih; dengan menanggung beberapa bentuk penderitaan, kita belajar untuk berpaling dari “ego” kita, untuk menemukan Seseorang yang dekat dengan kita (Yesus) dan untuk mengenal wajah Allah di dalam semua saudara saudari kita. Bagi orang-orang Kristiani, puasa merupakan suatu tindakan yang jauh dari tekanan yang dapat membuka diri kita untuk lebih merasakan Allah dan mengizinkan kasih Allah menjadi kasih terhadap sesama kita (Bdk. Mrk 12:31).

Dalam perjalanan kehidupan ini, kita sering dihadapkan pada pencobaan untuk mengumpulkan dan mencintai uang secara lebih yang dapat merusak peran dan kekuasaan Allah di dalam kehidupan kita. Ketamakan untuk memiliki uang membawa kita pada sikap kekerasan, eksploitasi, dan kematian; Untuk itu, Gereja secara khusus selama masa Prapaska, mengingatkan kita untuk melakukan tindakan amal – dimana semangat untuk berbagi dipupuk. Penyembahan terhadap barang-barang, di sisi lain, tidak hanya menghanyutkan kita dari sesama kita tetapi juga menghanyutkan keilahian manusia, membuat manusia tidak bahagia, menipu dirinya sendiri, memperdaya dirinya. Hal ini terjadi sejak barang-barang duniawi menggantikan tempat Allah Sang sumber hidup sejati. Bagaimankah kita dapat memahami kebaikan Allah, jika hati kita dipenuhi dengan egoisme dan dipenuhi pula dengan rencana-rencana diri kita sendiri, menganggap bahwa masa depan kita telah terjamin? Pencobaan terjadi seperti pada perumpamaan tentang orang yang kaya: “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya… Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu…” (Luk 12:19-20). Tindakan amal adalah sebuah peringatan akan kekuasaan Allah dan mengarahkan perhatian kita kepada sesama, sehingga kita menemukan kembali kebaikan Bapa dan menerima belas kasihan-Nya.

Selama masa Prapaska, Gereja memberikan kepada kita sabda Allah yang berkelimpahan. Lewat meditasi dan permenungan serta menghidupinya setiap hari, kita belajar sebuah bentuk doa yang tak tergantikan, dengan mendengarkan suara Allah, yang berbicara kepada hati kita sehingga memberikan kekuatan terhadap perjalanan iman kita yang telah kita terima pada waktu pembaptisan. Doa juga memungkinkan kita untuk mendapat sebuah konsep baru tentang waktu: tanpa pandangan akan kekekalan dan transendensi, maka waktu hanya mengarahkan kita menuju cakrawala tanpa masa depan. Termasuk di dalamnya, ketika kita berdoa kita menemukan waktu untuk Tuhan, untuk memahami bahwa: “sabda-Nya tidak akan berlalu” (Bdk. Mrk 13:31), untuk memasuki ke dalam persatuan yang mesra dengan-Nya “tiada seorangpun yang dapat merampas dari padamu” (Yoh 16:22), untuk membuka harapan kita akan kehidupan kekal tanpa takut akan dikecewakan.

Pada akhirnya, perjalanan Prapaska dimana kita diundang untuk mengkontemplasikan misteri salib, haruslah membuat kita menghasilkan kembali “bentuk kematian-Nya” (Flp 3:10) sehingga pertobatan kita sungguh mendalam; membuat kita berubah oleh karya Roh Kudus seperti yang dialami oleh St. Paulus dalam perjalannya ke Damsyik; membuat kita teguh berjalan di dalam kehendak Allah; membebaskan diri kita dari rasa egoisme; mengatasi keinginan kita untuk menguasai orang lain serta membuka hati kita terhadap cinta Kristus. Masa Prapaska adalah masa yang tepat untuk menyadari serta menerima kelemahan kita lewat refleksi terhadap hidup kita, menerima sakramen tobat serta berjalan menuju Kristus.

Saudara-saudari yang terkasih, melalui perjumpaan pribadi dengan penebus kita serta melalui puasa, tindakan amal serta doa, perjalanan pertobatan kita menuju Paska membimbing kita untuk menemukan kembali makna pembaptisan kita. Prapaska mengajak kita untuk menerima rahmat yang telah dilimpahkan Allah ke atas kita, sehingga dapat menerangi dan membimbing seluruh tindakan kita. Sakramen memberikan tanda dan menyadarkan bahwa kita dipanggil sebagai pengikut Kristus untuk menjadi lebih murah hati. Di dalam perjalanan kita, marilah kita mempercayakan diri kita kepada Perawan Maria, yang telah melahirkan Sabda Allah dalam iman dan daging, sehingga kita dapat membenamkan diri kita – seperti yang ia kehendaki - ke dalam kematian serta kebangkitan puteranya, Yesus dan memperoleh kehidupan kekal.

Vatikan, 4 November 2010
Paus Benedictus XVI
Diterjemahkan oleh Fr. Fol Piluit CDD