Fr. Agustinus Soko Kowe CDD
Tahun
Iman dan Seruan Sri Paus
Paus Benediktus XVI
menyebut Tahun Iman sebagai suatu kesempatan yang sangat istimewa bagi setiap
umat Katolik untuk lebih mengimani pesan kasih Allah dalam diri Yesus Kristus
dan menyebarluaskan (mewartakanya) ke seluruh penjuru dunia. Melalui Tahun
Iman, kita sekali lagi diajak untuk bersama-sama menemukan kembali iman
Katolik. Menemukan kembali Iman Katolik berarti menemukan cara Allah mencintai manusia
dan bagaimana seharusnya manusia menanggapi kasih itu.
Iman itu tidak sekali
jadi (instan) tetapi melalui proses yang panjang. Perjalanan iman kita untuk
menyambut kasih Allah dimulai dengan pembaptisan (bdk.Rom 6:4) dan kemudian
terus berlanjut sepanjang hidup. Dalam perjalanan selanjutnya terkadang orang
menjadi lupa akan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai orang yang beriman kepada
Kristus Yesus. Banyak orang mulai tergiur dan terseret oleh tawaran-tawaran dunia
yang sangat menarik dan memberikan kepuasan yang nyatanya bersifat semu. Orang
lebih menaruh perhatian kepada konsekuensi-konsekuensi sosial, budaya, dan
politis dari komitmen mereka.[1] Melalui
Tahun Iman ini Gereja kembali menyadarkan kita semua dan mengundang kita semua untuk
berkomitmen sekali lagi dalam melanjutkan perjalanan menuju kasih Allah.
Tahun Iman berlangsung
dari tanggal 11 Oktober 2012 hingga 24 November 2013. Hal ini bertepatan dengan
dua peristiwa penting dalam Gereja Katolik yakni: ulang tahun ke limapuluh
pembukaan Konsili Vatikan II dan ulang tahun ke duapuluh dipublikasikannya
Katekismus Gereja Katolik.
Tahun iman merupakan
panggilan untuk kembali mendekatkan diri kepada Yesus satu-satunya juru selamat
dunia yang melalui misteri paskah menunjukan kasih-Nya kepada dunia dan
mendorong manusia untuk bersaksi tentang imannya itu. Gereja menyebut upaya
mendekatkan diri kepada Kristus sebagai suatu pertobatan. Praktisnya di tahun
iman ini kita semua diajak untuk menerima Sakramen Tobat secara lebih sering. Selain
itu Paus juga menganjurkan beberapa kegiatan yang harus dilakukan selama Tahun
Imam seperti: membaca cerita orang kudus, berziarah, mempelajari salah satu
bagian dari katekismus, menghafalkan dalam hati doa credo, berdoa kepada Santa
Perawan Maria setiap hari, terlibat dalam misi paroki, membaca salah satu dokumen
penting Konsili Vatikan II, aktif dalam kegiatan lingkungan dan paroki, dan terlibat
serta menghayati Ekaristi yang dirayakan yang merupakan puncak iman Katolik. Semuanya
itu dimaksudkan agar kita menemukan kedalaman dan kekayaan iman yang selama ini
kita hayati.
Pada bagian selanjutnya
secara khusus akan dibicarakan mengenai Ekaristi yang merupanan "puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan ... tetapi juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu ... mengalir"[2] Menjadi suatu keharusan bari umat kristiani untuk lebih menghayati misteri penebusan Kristus yang terungkap dalam perayaan Ekaristi kudus tidak saja di Tahun Iman ini tetapi di sepanjang peziarahan hidup mereka di dunia ini.
Ekaristi Puncak Iman Katolik
Iman haruslah dimaknai
dalam tindakan nyata, iman tak dapat dipisahkan dari tindakan atau perbuatan karena
iman tanpa perbuatan adalah mati. Tindakan membantu seseorang mengakui atau
menunjukan apa yang ia imani. Pengakuan iman itu diikuti oleh penerimaan
kehidupan sakramental dimana Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya
membangun Gereja. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan itu akan
kehilangan rahmat yang mendukung kesaksiannya secara kristiani. Tanpa liturgi
dan sakramen-sakramen, pengakuan akan iman kepercayaan kita akan terasa hambar
dan kering. Demikianlah yang dikehendaki oleh Paus Benediktus XVI agar ada kebangkitan
dalam diri setiap umat katolik aspirasi untuk mengakui iman kepercayaanya
dengan keyakinan yang baru, yang penuh kepercayaan dan harapan. Untuk itulah Tahun
Iman menjadi suatu kesempatan yang sangat baik untuk memaknai secara lebih
mendalam perayaan iman itu dalam liturgi, teristimewa dalam perayaan Ekaristi
yang adalah puncak ke mana seluruh kegitan Gereja diarahkan dan juga menjadi
sumber darimana seluruh kekuatan itu mengalir. Ekaristi menjadi puncak seluruh
kehidupan kristiani.
Pada
saat Gereja merayakan Ekaristi, peringatan akan wafat dan kebangkitan Tuhan
Yesus Kristus yang merupakan peristiwa sentral penyelamatan Kristus bagi dunia,
Gereja sungguh-sungguh merasakan perwujutan karya penyelamatan Kristus itu.
Pada peristiwa penyelamatan itu, Kristus sungguh-sungguh telah mengosongkan
diri dan merendahkan diri (Fil 2:7-8), menyerahkan diri-Nya bagi keselamatan
manusia. Demikianlah setiap orang dari umat beriman yang ikut ambil bagian
dalam persembahan diri Kristus dapat memperoleh buah-buah yang tak kunjung
kering.
Merayakan
Ekaristi berarti menghadirkan kurban Kristus. Dengan merayakan Ekaristi kita
tidak hanya ingat akan kurban salib Kristus tetapi juga ingat akan kebangkitan-Nya.
Mempersembahakan kurban dalam Ekaristi berarti mempersatukan diri dengan kurban
Kristus karena Ekaristi sendiri adalah Allah beserta kita. Ia adalah Yesus yang
hadir dalam darah daging-Nya. Ia adalah Yesus yang tersembunyi dalam rupa roti,
sehingga ia sungguh hadir dalam kita yang menyantapnya.
Dalam
perayaan Ekaristi manusia ikut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus Allah dengan
Kristus sebagai Imam dan Kurbannya. Lewat dan dalam Ekaristi terjadilah
persekutuan antara surga dan bumi [3].
Dalam dan melalui Ekaristi iman Gereja akan kurban Kristus di kayu salib, dan perjamuan
yang mempersatukan manusia dengan Bapa di surga diungkapkan.
Ekaristi
Membangun Gereja
Ekaristi
adalah pusat proses pertumbuhan Gereja karena melalui dan dengan Ekaristi kudus
terungkap pokok iman kristiani yakni penebusan Kristus, wafat dan
kebangkitan-Nya demi penebusan atas dosa-dosa manusia dan demi kesatuan manusia
dengan Bapa di surga. Melalui dan dalam perayaan Ekaristi kita semua disatukan
sebagai suatu kesatuan umat beriman yang membentuk satu tubuh dalam Kristus
(Kor 10:17). Ekaristi mempersatukan semua komponen Gereja tidak saja dengan
sesama tetapi lebih lagi dengan Allah, dan pada saat yang sama kita bukan saja
menyambut Kristus datang dan hadir di hati kita masing-masing tetapi juga
Kristus sendiri menyambut kita masing-masing untuk datang dan ambil bagian
dalam karya keselamatan yang ditawarkan-Nya. Karena Kristus kita semua menjadi
sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:16), karena Kristus pula kita semua memperoleh
kehidupan “yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku akan hidup” (Yoh 6:57). Yesus
yang ada dalam Ekaristi tinggal bersama kita sebagai sahabat, belahan jiwa, kekasih
jiwa kita. Ia masuk dalam hati kita untuk menjadi makanan abadi bagi hidup kita.
Persekutuan
dalam Ekaristi meneguhkan Gereja dalam kesatuan sebagai tubuh mistik Kristus
dengan Kristus sendiri sebagai kepala tubuhnya. Ekaristi meningkatkan
pengalaman persaudaraan yang telah hadir dalam kebersamaan di meja perjamuan
yang sama. Segala macam perbedaan dalam diri manusia ditangkal oleh daya
pemersatu tubuh Kristus. Ekaristi menciptakan komunitas manusia yang harmonis
dan membangun kesatuan dalam Gereja. Lewat kesatuannya dengan tubuh Kristus,
Ekaristi secara mendalam menjadi tanda dan alat kesatuan mesra dengan Tuhan dan
kesatuan dengan seluruh bangsa manusia. Semuanya, setiap warna kulit, setiap
bahasa, merayakan liturgi yang sama, mempersembahkan kurban yang sama pula
kepada Allah.[4]
Satu Allah, satu Perantara, satu Kristus, satu altar (1Kor 10: 17).
Ekaristi memanggil
semua orang yang terlibat di dalamnnya untuk mempertahankan, meningkatkan
persekutuan dengan Allah Tritunggal dan persekutuan antara umat beriman[5].
Mempertahankan persekutuan ini secara utuh adalah tugas dan kewajiban para
beriman katolik, yang ingin ambil bagian secara penuh dalam Ekaristi.
Kehadiran Ekaristi
sendiri mengharuskan mereka yang menerimanya dengan layak untuk dapat memenuhi
semua kewajiban kepada sesama manusia dan kepada Allah[6],
kewajiban yang dimaksudkan di sini ialah kewajiban untuk mengamini setiap
perintah Allah dan yang paling utama dari semua perintah itu ialah perintah
untuk mencintai Allah melebihi segala sesuatu dan mencintai sesama manusia
sebagaimana Allah telah mencintai kita dalam dan melalui Yesus Kristus. Dengan
demikian Ekaristi telah menginspirasi suatu tatanan masyarakat yang teratur,
suatu persekutuan Gereja yang penuh kasih dan persaudaraan sejati dengan Yesus
Kristus sendiri menjadi kepala tubuhnya. Ekaristi menciptakan semangat cinta
kasih di antara para anggota Gereja, secara istimewa Ekaristi mendorong
persaudaraan sejati di antara mereka yang ikut ambil bagian dalam kurban yang
satu dan sama kurban Kristus di salib.
Ekaristi menciptakan persekutuan
dan mengembangkan persekutuan umat beriman. Dengan Ekaristi kudus yang
dirayakan bersama oleh seluruh umat beriman di belahan dunia manapun dihadirkan
kurban pendamaian salib Kristus bagi dunia.
Menghayati
Ekaristi
Ekaristi merupakan
kehadiran dan rangkuman seluruh rahasia keselamatan kristiani secara
sakramental[7].
Ekaristi mengungkapkan adanya gerakan Allah kepada manusia dan gerakan manusia
kepada Allah sebagai tanggapan terhadap tawaran keselamatan yang diberikan
Allah sendiri kepada manusia, atau dengan kata lain di dalam Ekaristi terdapat
dua dimensi sekaligus yakni anugerah dan tugas, Ekaristi adalah kemuliaan Allah
dan keselamatan manusia. Di dalam Ekaristi terungkap secara menyeluruh hidup,
kematian dan kebangkitan Kristus yang merupakan pokok iman kristiani. Ekaristi dengan
demikian menutut adanya suatu jawaban dari pihak manusia. Allah memanggil dan
menawarkan kepada manusia suatu karya keselamatan dalam diri Putera-Nya dan
dari pihak manusia dituntut jawaban atas tawaran tersebut.
Pengungkapan atau
pernyataan iman dalam Ekaristi tertuju kepada perwujutan dalam hidup sehari-hari.
Perayaan Ekaristi hanya akan mempunyai arti jika benar-benar meneguhkan dan
menguatkan iman sedemikian rupa sehingga orang dapat menghayati imannya dalam
hidup sehari-hari, dalam perbuatan moral yang bertanggung jawab. Selanjutnya kita
tidak boleh sekali-kali meragukan perubahan Roti dan Anggur menjadi Tubuh dan
Darah Kristus, karena inilah penghayatan iman katolik. Banyak peristiwa mujizat
Ekaristi membuktikan bahwa dalam dan melalui Ekaristi kudus Allah
sungguh-sungguh hadir. Peristiwa-peristiwa tersebut juga secara tidak langsung
mau memberikan pesan kepada kita untuk; pertama, bahwa tidak boleh ada keraguan
sedikitpun akan kehadiran Kristus Tuhan dalam rupa Roti dan Anggur yang telah
dikonsekrirkan. Kedua, bahwa penghormatan sebesar-besarnya wajib kita berikan
kepada Kristus dalam Ekaristi[8].
Menghayati Ekaristi
dalam hidup berarti pula menaruh hormat yang besar kepada Ekaristi, mengambil
bagian secara aktif dalam perayaan Ekaristi dan mempersembahkan diri seutuhnya;
kehidupan kita, suka duka kita kepada Kristus. Sering terjadi bahwa orang
kurang menghayati Ekaristi sebagai pokok iman, belum semua umat menempatkan
Ekaristi sebagai pucak imannya. Sebagian orang menganggap Ekaristi hanya
sebagai rutinitas yang diwajibkan Gereja, sebagian lagi kurang ambil bagian
secara aktif di dalam perayaan Ekaristi, ada yang mengobrol selama perayaan
Ekaristi, ada yang bermain Hp walaupun sudah ada peringatan untuk menonaktifkan
Hp, ada yang mulai meninggalkan Gereja setelah menerima komuni. Hal-hal di atas
menunjukan adanya kemerosotan dalam penghayatan iman dan kecendrungan kurang
memaknai Ekaristi[9].
Semakin hari kita harus
semakin menghayati dan memaknai hidup kita dengan kurban Ekaristi Kristus,
semakin hari kita harus semakin mencintai Ekaristi.
Penutup
Jika
iman itu tidak disertai dengan perbuatan maka iman itu pada hakekatnya adalah
mati….(Yak 2:14-18). Iman juga menuntut adanya suatu ungkapan kasih sebab iman
tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah dan kasih tanpa iman hanya akan
merupakan suatu perasaan yang berada di bawah kuasa kebimbangan.[10]
Dengan
menghayati Ekarsiti diharapkan iman kita tetap terpelihara dan diteguhkan dalam
menghadapi terpaan gelombang dunia yang semakin hari semakin memikat dan
menggiurkan, kita makin disadarkan akan panggilan hidup kita masing-masing
yaitu panggilan untuk “mencintai”, sehingga pada akhirnya Firman Tuhan memperoleh
kemajuan dan dimuliakan (2 Tes 3:1).
[1] Benediktus
XVI, Porta Fidei, dalam Motu Proprio,
Roma: 11 Oktober 2012, no 4.
[2] Ibid,
No. 13.
[3]
Scott Hann, 40 Kebiasaan Katolik Dan Akar
Biblisnya, Malang: Dioma Publishing, 2011, hal 61.
[4] Celso
Costantini, Induite Vos Armaturam Dei,
terj, Batu: Oktober 2008, hal,34
[5] Ecclesia De Eukaristia, Ekaristi dan
Hubungannya dengan Gereja, terj, Jakarta: KWI, 2003, hal, 30.
[6]
Celso Costantini, op.cit hal,65.
[7] J.
B. Banawiratama, SJ, Baptis, Krisma,
Ekaristi, Jogjakarta: Kanisius, 1989, hal,189.
[8]
Herman Musakabe, Menuju Hidup Yang Lebih
Ekaristi, Bogor: Gradika Mardi Yuana, 2008, hal,4.
[9] Ibid hal,6.
[10]
Benediktus XVI, loc.cit.no, 14.
DAFTAR PUSTAKA
B.
J. Banawiratama. SJ. Baptis, Krisma, Ekaristi. (Jogjakarta:
Kanisius, 1989) .
Benediktus XVI, Porta Fidei, dalam Motu Proprio ,Roma (11 Oktober 2012).
Costantini
Celso. Induite Vos Armaturam Dei,
terj (Batu: Oktober 2008).
Ecclesia
De Eucharistia, Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja,
terj KWI (Jakarta: KWI, 2003).
Musakabe Herman. Menuju Hidup Yang Lebih Ekaristi. (Bogor: Gradika Mardi Yuana,
2008).
Hann. Scott 40 Kebiasaan Katolik Dan Akar Biblisnya (Malang: Dioma
Publishing,2011).